Rabu, 23 Maret 2011

Perdagangan manusia (Human Trafficking)

Dewasa kini permasalahan yang menyita perhatian masyarakat internasional adalah kejahatan transnasional yang melibatkan perdagangan/ penyelundupan orang (human trafficking) dari suatu negara ke negara lain. Di Indonesia Isu human trafficking belum menjadi perhatian serius pemerintah untuk segera diselesaikan, padahal Indonesia menjadi salah satu negara “pengekspor” manusia kenegara lain dalam jumlah besar sehingga praktik eksploitasi manusia melalui human trafficking sangat rentan terjadi pada masyarakat Indonesia. Selain dampak kemanusiaan tersebut, perdagangan manusia juga berdampak pada hubungan antar negara yaitu pelanggaran kedaulatan perbatasan antar negara karena perdagangan manusia adalah aktifitas lalu lintas orang antar negara secara illegal.
Untuk mengurai praktek ini sepatutnya pemerintah bekerja keras dengan memasukan isu perdagangan manusia menjadi skala prioritas program kerja jangka panjang. Untuk menyelesaikan bisnis yang diperkirakan mampu meraup keuntungan sebesar Rp 32 Triliyun setiap tahunnya ini pemerintah wajib memperhatikan beberapa faktor penyebab praktek perdagangan manusia ini mudah terjadi. Berangkat dari faktor-faktor tersebut diharapkan pemerintah mampu mencari solusi terbaik dalam menyelesaikan perdagangan manusia ini.
Berdasarkan data yang didapat, terdapat beberapa faktor yang perlu diurai kaitannya dengan penyebab mudahnya praktek perdagangan manusia berlangsung. Pertama, lemahnya pengawasan di daerah perbatasan. Kedua, lemahnya sistem administrasi pada unsur pemerintah terkait dan ketiga, lemahnya political will pemerintah. Faktor pertama yaitu lemahnya pengawasan di daerah perbatasan berdampak pada suburnya tindak kejahatan perdagangan manusia ini. terlebih pendekatan yang dilakukan selama ini lebih kepada aspek keamanan bukan pada kesejahteraan masyarakat. Sehingga secara tidak langsung membangun karakter masyarakat di perbatasan untuk cenderung tidak peduli pada kegiatan yang berlangsung di daerah perbatasan, termasuk mengawasi lalu lintas perbatasan. Tentunya hal ini menjadi sumber masalah yang dapat menurunkan rasa kebangsaan dan kedaulatan negara.
Faktor kedua yaitu lemahnya sistem administrasi pada unsur pemerintah/keimigrasian, modus yang terjadi adalah perdagangan manusia selalu identik dengan pencari kerja, korban dijanjikan untuk diberangkatkan kerja, dengan membuat paspor kunjungan biasa (wisata) yang berlaku beberapa bulan. Namun sesampainya di negara tujuan, korban bekerja ditempat yang tidak diketahui. Praktek perdagangan manusia ini sulit terdeteksi, pihak imigrasi sebagai pintu utama pun sulit mendeteksi kejahatan ini karena korban memiliki kelengkapan persyaratan administrasi seelumnya.
Faktor ketiga yaitu lemahnya political will dari pemerintah. Minimnya regulasi untuk mencegah praktek perdagangan manusia belum menjadi prioritas. Sebagai contoh, kasus terbesar praktek perdagangan manusia saat ini terjadi pada hubungan tenaga kerja Indonesia di negara Malaysia. Hampir 1 jutaan orang Indonesia menjadi tenaga kerja Ilegal di negara tersebut. kondisi ini memungkinkan praktik eksploitasi mudah terjadi. Hingga saat ini tindakan nyata dari pemerintah hanya menunda pengiriman TKI yang sesungguhnya tidak efektif karena tenaga kerja tersebut perlu dicarikan lapangan pekerjaan lain, dan juga mendesak pemerintah untuk melakukan revisi MOU yang pernah dibuat agar mengatur mengenai pelarangan tenaga kerja tidak resmi.
Berdasarkan permasalahan tersebut ada beberapa alternatif solusi yang sebenarnya bisa dilakukan oleh permerintah. Pertama, Mendorong pemerintah pusat maupun daerah untuk segera menciptakan lapangan pekerjaan di dalam negeri sehingga alternatif mencari pekerjaan diluar negeri dapat ditekan seminimal mungkin. Terkait dengan peran pemerintah, pihak imigrasi wajib lebih tanggap dan teliti dalam mengawasi warga yang masuk maupun keluar negeri, hal ini agar praktek dokumen resmi tapi untuk kegiatan illegal dapat ditekan. Keudian kerja sama Pihak kepolisian dan masyarakat dalam hal ini LSM untuk secara aktif menangani kasus-kasus perdagangan manusia. Dan juga, menindak tegas setiap perusahaan yang berpeluang terhadap praktik perdagangan manusia yang kerap tidak memperhatikan prosedur.
Kedua, ditambah mengenai kewenangan kewenangan daerah, khususnya terkait dengan wilayah perbatasan yang sebelumnya menjadi kewenangan pusat karena terkait dengan keamanan dan pertahanan. Perdagangan manusia terjadi karena pengelolaan wilayah perbatasan yang sangat buruk, oleh sebab itu, alternative pilihan tersebut adalah penambahan anggaran penanggulangan perdagangan manusia oleh pusat atau memberikan kewenangan lebih pemerintah daerah untuk terjun langsung menanggulanginnya. Asumsi dasar apabila tanggung jawab diberikan kepada pemerintah daerah, selain lebih mengetahui kondisi daerahnya pemerintah daerah dapat langsung bekerja untuk Mengintegrasikan seluruh komponen yang ada meliputi koordinasi diantara pemerintahan di tingkat desa, kabupaten/kota untuk menggalakan penyelesaian perdagangan manusia.
Ketiga, Pembangunan infrastruktur dan fasilitas sistem pengamanan di kawasan perbatasan mutlak harus dilaksanakan. Artinya dalam menanggulangi perdagangan manusia pemerintah wajib melakukan pendekatan kesejahteraan kepada masyarakat wilayah perbatasan disamping tetap mempertahankan pendekatan keamanan. Masih buruknya kedua hal tersebut memberikan peluang bagi sindikat kejahatan untuk mencari keuntungan.

Sumber: Pusat pengkajian, pengolahan data, dan informasi Setjen DPR RI.

Senin, 04 Mei 2009

MASYARAKAT DAN BUDAYA SALING “MENGINGATKAN”

Segala kekurangan pada pelaksanaan pemilu legislatif kemarin, kiranya dapat dijadikan pelajaran berharga untuk masa depan, tulisan ini juga bukan dimaksudkan untuk mengesampingkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi untuk dilewatkan begitu saja tanpa dikoreksi secara kritis. Melihat hasil pileg yang lalu upaya kembali mengkaji fungsi serta kedudukan masyarakat dalam setiap proses politik wajib dilakukan. Hal ini dirasakan perlu karena di setiap proses politik biasanya berdampak pada dinamika masyarakat, seperti kasus hilangnya hak politik masyarakat secara massif pada pileg kemarin, sebagian masyarakat memilih tindakan anarkis dalam meluapkan kekecewaannya.
Sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi, jika hukum yang berlaku dengan cepat membuktikan mana yang salah dan mana yang benar. Namun, terlepas dari itu, kejadian ini memberikan hikmah tersendiri bagi bangsa ini kedepannya, yaitu bahwa sebelum melaksanakan sesuatu haruslah berdasarkan ketelitian, dan lebih mendahulukan rasa keadilan pada sesama agar tidak ada yang dirugikan. Sikap mencegah ini harus konsisten diperjuangkan agar menjadi budaya yang mengakar hidup dalam keseharian masyarakat.
Kita sedang tidak berandai-andai, hikmah ini harus segera diterjemahkan dan dilaksanakan. Oleh karenanya, penciptaan budaya seperti itu harus dimulai dari membaca ulang peran masyarakat dalam kehidupan, khususnya dalam hubungannya dengan negara. Budaya ini dapat dimulai dengan gagasan bahwa masyarakat harus mampu menciptakan posisi tawar kuat dengan negara yang mampu mengoreksi pemerintah ketika salah, dalam konteks ini masyarakat mampu menjadi kekuatan penyeimbang (balancing power) ketika berhadapan dengan negara. Wacana ini mutlak harus mendominasi dalam setiap tindakan masyarakat kedepannya. Namun, persoalannya adalah, apakah saat ini masyarakat sudah mampu mengintegrasikan kepentingannya dalam sebuah kekuatan besar yang mampu memiliki posisi tawar tinggi dengan negara?.
Melihat kenyataan yang ada, harus diakui masyarakat saat ini masih jauh dari nilai-nilai ideal. Masyarakat masih tercerai berai dalam arti lebih mementingkan diri sendiri, masyarakat menilai kebebasan dalam demokrasi adalah mengkritik tanpa mau dikritik, dan tidak mau menerima kekalahan. Tindakan itu diperparah oleh perilaku sebagian elit politik, yang sikapnya tidak jauh berbeda seperti yang disebutkan diatas. Sesungguhnya sikap ini harus dihilangkan dan dirubah. Tindakan negatif ini dapat memecah belah masyarakat dan berpotensi menimbulkan konflik antar masyarakat (horizontal).
Merubah sifat yang ada dalam masyarakat ini, tidak semudah membalikan telapak tangan. Persoalan ini haruslah dimulai dari kesadaran masing-masing individu dalam masyarakat. Mengakui kesalahan dan mau bertanggung jawab adalah nilai luhur yang harus segera dimiliki oleh bangsa ini. Peran pemerintah adalah dalam menciptakan sebuah pondasi kejujuran dalam membangun Indonesia kedepannya. Jika hal ini dilakukan, budaya untuk saling mengoreksi atau mengingatkan akan terwujud, karena diantara masyarakat dan pemerintah berlandaskan sama-sama ingin adil. Maka, kemandirian masyarakat dengan negara tidak mustahil dapat tercipta.
Integrasi
Banyak hikmah yang didapat dari pileg kemarin. Salah satunya tersadarkannya masyarakat Indonesia untuk saling menghargai, saling mengingatkan, dan saling menjunjung kejujuran. Namun, budaya mengingatkan itu haruslah ditempuh dengan cara yang mulia kedepannya. Yaitu dengan mengintegrasikan kekuatan dalam bentuk lembaga atau organisasi seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media massa dan Perguruan Tinggi. Cara ini berkorelasi positif dengan penguatan demokrasi yang ada. Bersatunya masyarakat dalam sebuah kekuatan yang terorganisir diharapkan mampu menjadi mitra pemerintah, sehingga agenda perubahan yang dicita-citakan dapat diwujudkan secara bersama-sama.

Teja Kusuma
Mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan angkatan 2005 FISIP Unpad
Sekum DPC GMNI Kab.Sumedang

MENJAMIN KESEJAHTERAAN UNTUK PENDIDIKAN

Setiap tanggal 2 Mei bangsa ini selalu memperingati sebagai hari pendidikan, hari dimana bangsa ini selalu melakukan refleksi kembali tentang pentingnya pendidikan. Sebelum jauh menyelami persoalan pendidikan di Indonesia, kiranya kita harus memahami terlebih dahulu bahwa bangsa yang ingin maju menempatkan pendidikan dalam sebuah kebutuhan. Sama dengan kebutuhan pangan, sandang dan papan. Artinya dalam melaksanakan pembangunan, prioritas pembangunan tersebut adalah pendidikan. Karena pendidikan berkaitan dengan penguasaan warga negara dalam bidang pengetahuan dan teknologi.
Menyoal kembali dunia pendidikan Indonesia tak urung seperti manusia yang selalu bercermin, artinya kegiatan yang tidak pernah selesai, dan selalu berulang. Banyak hal yang dapat menjelaskan masalah ini, salah satunya ialah komitmen pemerintah dalam menyediakan pendidikan layak bagi rakyat. Walaupun pemerintah mencanangkan pendidikan gratis tahun ini, tetap saja angka putus sekolah masih terbilang tinggi, kondisi ini mengharuskan pemerintah bukan hanya sekedar komitmen tetapi harus segera mewujudkannya. Pertanyaanya ialah apa yang harus segera diwujudkan oleh pemerintah?.
Kesejahteraan
Hal yang wajar jika kita selalu mengangkat persoalan pendidikan ke permukaan menjadi masalah. Terdapat dua point utama yang perlu dikaji terkait dengan masalah pendidikan di Indonesia. Pertama, kesejahteraan dan kesempatan warga negara dalam memperoleh pendidikan dan fasilitas sarana dan prasarana pendidikan.
Terkait dengan kesempatan warga negara, pemerintah sudah merencanakan program pendidikan gratis tahun ini, hal ini berarti setiap warga negara sudah dijamin dalam mendapatkan pendidikan. Kebijakan ini diperkirakan akan menyelamatkan angka putus sekolah, dimana jumlah anak putus sekolah SD setiap tahun rata-rata berjumlah 600.000 hingga 700.000 siswa. Sementara itu, jumlah mereka yang tidak menyelesaikan sekolahnya di SMP sekitar 150.000 sampai 200.000 orang. Melihat jumlah tersebut tampaknya faktor ekonomi menjadi persoalan utama terhadap tingginya angka putus sekolah. Saya mengajak khalayak untuk berfikir untuk mempertimbangkan faktor tingkat kesejahteraan masyarakat itu sendiri sebagai pangkal penyebab. Saya memandang kebutuhan hidup yang semakin besar turut berdampak pada pertimbangan orang tua dalam mensekolahkan anaknya. Hampir mayoritas anak yang putus sekolah ialah anak dari keluarga yang miskin yang jumlahnya kini hampir tiga puluh lima (35) juta jiwa pada tahun 2008, sehingga dalam memenuhi kebutuhan yang serba sulit anaklah yang menjadi alat untuk bekerja mencari uang. Oleh Karena itu pemerintah janganlah berpaling dengan kenyataan ini, program pengentasan kemiskinan harus mendapat prioritas utama jika ingin program pendidikan gratis berhasil.
Sementara itu, jika kesejahteraan rakyat sudah terpenuhi maka muara kebijakan pemerintah selanjutnya ialah meningkatlan kualitas sarana dan prasarana pendidikan itu sendiri. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah terkait dengan peningkatan kualitas, seperti “label” guru yang berkualitas ditempatkan secara proporsional. Artinya pemerintah harus menjamin pemerataan tenaga pendidik yang berkualitas di setiap daerah, agar tidak terjadi ketimpangan tenaga pendidik. Penyediaan kurikulum yang berbasis penelitian dan pengembangan, hal ini perlu dilakukan sebagai langkah meningkatkan kualitas pendidikan. Dan yang terakhir ialah pemberdayaan lembaga pendidikan, melalui pembangunan sarana fisik yang layak, seperti gedung, laboratorium, dan perangkat keras lainnya.
Jika satu persatu masalah pendidikan mampu diselesaikan dari tingkat hulu ke hilir maka kesejahteraan pendidikan dapat segera terwujud. Persoalan putus sekolah tampaknya akan semakin berbelit jika berkaca pada situasi ekonomi negara saat ini yang sedang dilanda krisis. Apabila dikaitkan dengan semakin rapuhnya industri sehingga mengancam terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK), bukan mustahil angka putus sekolah akan semakin meningkat.



Teja Kusuma
Mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan angkatan 2005 FISIP Unpad
Sekum DPC GMNI KAB.SUMEDANG

Rabu, 08 April 2009

MEMBACA ULANG PERAN MASYARAKAT DALAM PEMILU

Diskursus publik mengenai peran masyarakat dalam pemilu khususnya pemilihan legislatif saat ini masih di dominasi oleh anggapan bahwa masyarakat hanya sebagai objek bukan sebagai subjek, sehingga masyarakat masih diposisikan sebagai “mainan” oleh setiap calon legislatif (caleg) yang ingin duduk dalam pemerintahan bukan diposisikan sebagai pemegang kadaulatan tertinggi, secara sederhana kedaulatan adalah memerintah sendiri. Mengutip pendapat Soekarno bahwa rakyat haru menjadi raja dalam lapangan politik. Kita setuju bahwa seharusnya masyarakat menjadi “raja” dalam proses politik, bukan sebagai “budak” para kontestan pemilu. Namun, kenyataanya saat ini masyarakat hanya dijadikan budak dengan dijadikan komoditas politik sesaat untuk meraih keuntungan dalam mendulang suara para kontestan, tentunya hal ini sudah keluar jalur dari yang dicita-citakan. Tentunya harapan besar pada pemilu nanti yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 April dapat dijadikan momentum untuk kembali membaca dimana seharusnya peran dan kedudukan rakyat di dalam pemilu.
Terkait dengan mengembalikan peran masyarakat dalam pemilu tidak terlepas dengan konsep membangun masyarakat yang berdaya oleh pemerintah. Bahwa peran pemerintah dalam hal ini dapat ditunjukan dengan membuka ruang-ruang publik dan informasi yang dapat diakses oleh masyarakat luas, sehingga masyarakat mampu berpartisipasi dalam setiap kebijakan yang dibuat, melalui partisipasi harapannya adalah masyarakat mampu menjadi mitra pemerintah tentunya partisipasi dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara secara konstruktif. Kaitannya dengan pemilu hari ini, partisipasi terwakilkan secara baik dalam model dan sistem secara terbuka, setiap orang untuk bisa berpartisipasi penuh dalam hal dipilih maupun memilih. Sebenarnya situasi tersebut menuju kearah yang positif, yaitu penguatan kesetaraan (egality) dalam hak-hak individu diakui. Hal ini juga menguatkan demokratisasi yang sedang terbangun.
Namun, penulis memiliki catatan kritis dengan kondisi yang ada. Bahwa dengan banyaknya partisipasi masyarakat yang mendaftarkan diri menjadi calon legislatif (caleg), maka masyarakat sebagai yang memilih hanya dijadikan sasaran untuk memenuhi hasrat kemenangan, sehingga dalam pelaksanaanya cara apapun akan dilakukan oleh sang caleg demi meraih kemenangan. Karena itu sudah tak aneh jika saat ini kita melihat banyak caleg memberikan uang atau barang lainnya untuk meyakinkan masyarakat untuk memilihnya dan parahnya masyarakat terbuai dengan pemberian sang caleg, sehingga terbangun paradigma musim kampanye ini adalah musimnya bagi-bagi uang atau barang bukan untuk mengagendakan perubahan. Apabila kita lihat lebih jauh, ketimpangan antara harapan dan kenyataan benar-benar terjadi. Masyarakat dijadikan komoditas politik saja bukan sebagai aktor yang harusnya bersikap kritis terhadap kondisi tersebut. Dari kenyataan tersebut dirasakan belum terjadi upaya maksimal dari masyarakat dalam membangun pondasi politik yang kuat untuk masa selanjutnya.
Membangun sebuah masyarakat yang mandiri dan berdaya tentunya tidak semudah membalikan telapak tangan, diperlukan sebuah keseriusan seluruh elemen yang terkait terutama dari dalam masyarakat itu sendiri. Strategi yang dapat dilakukan ialah masyarakat harus berani mengintegrasikan dirinya menjadi sebuah kekuatan dalam bentuk lembaga ataupun organisasi, sehingga memiliki daya tawar tinggi ketika berhadapan dengan Negara. Lembaga-lembaga publik non Negara atau disebut Civil Society Organization (CSO) seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media massa, Perguruan Tinggi sebagai lembaga yang memiliki akses terhadap pemerintahan harus dimaksimalkan kembali. De tecquevill mendefinisikan civil society sebagai wilayah kehidupan sosial yang mandiri yang bercirikan kesukarelaan, keswasembadaan, dan keswadayaan yang di dalamnya terdapat masyarakat yang kuat ketika berhadapan dengan negara. Kekuatan tersebut masih dalam lingkup masyarakat mentaati norma-norma atau aturan yang berlaku.
Kaitannya dengan mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemilu, pengawasan terhadap setiap calon anggota legislatif mutlak harus dilakukan oleh masyarakat yang terintegrasi dalam lembaga-lembaga non Negara Civil Society Organization (CSO). Adapun bentuk pengawasan yang dapat dilakukan civil society organization (CSO) dalam mewujudkan kedaulatan masyarakat adalah lembaga-lembaga publik non Negara atau Civil Society Organization (CSO) seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, media massa, Perguruan Tinggi dapat melakukan pendidikan kepada masyarakat luas, pengawasan publik serta pembelaan (advokasi) masyarakat. Patut disadari bahwa hampir mayoritas penduduk Indonesia masih rendah tingkat pendidikannya, sehingga dengan adanya pendidikan politik ini diharapkan masyarakat dapat mengetahui hak-hak politiknya secara sadar sehinga rasional dalam menentukan pilihannya kelak. Pun juga, Setiap calon yang ada perlu dibangun komitmennya dalam bentuk kontrak politik terhadap masyarakat, sehingga janji-janji yang diucapkan pada saat kampanye dapat dipantau untuk diselaraskan dengan kinerjanya. Adapun pembelaan terhadap masyarakat dapat dilakukan sebagai wujud pendampingan terhadap hak-hak politik masyarakat, sehingga setiap calon yang ingin maju tidak bisa sewenang-wenang terhadap masyarakat.
Pada akhirnya dalam membangun hubungan antara masyarakat dengan calon anggota legislatif pada masa kampanye ini harus dimulai dari dalam masyarakat, sehingga tercipta sinergitas antara kebutuhan masyarakat dengan kinerja calon jika terpilih nanti. Hanya masyarakat yang mampu mengetahui hak-hak politiknya secara sadar nantinya memiliki posisi tawar (bargaining position) yang tinggi terhadap sang calon, sehingga agenda perubahan yang dicita-citakan dapat diwujudkan.

Teja Kusuma
Mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan angkatan 2005 FISIP Unpad

Kamis, 04 Desember 2008

pro kontra SKB 4 MENTRI

PRO dan KONTRA SKB 4 MENTRI


Pro Kontra surat keputusan bersama 4 menteri atau disingkat SKB 4 MENTRI terus terjadi, di berbagai daerah ribuan buruh terus melakukan demonstrasi menuntut agar keputusan ini segera dicabut karena dirasakan hanya memihak kepada pemilik modal atau perusahaan.
SKB yang ditandatangani oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno, Menteri Perindustrian Fahmi Idris, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto dan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dimaksudkan sebagai langkah untuk menyelamatkan dunia usaha dalam negeri dalam mengantisipasi krisis ekonomi global. Krisis ekonomi memberikan dampak langsung bagi keberlangsungan perusahaan yang bergerak dalam bidang ekspor. Turunnya permintaan Negara tujuan ekspor membuat volume ekspor menurun yang membuat perusahaan harus bekerja keras untuk dapat mempertahankan produksinya. Kondisi tersebut kemudian memunculkan polemik antara perusahaan dengan buruh, singkat kata demi menjaga keberlangsungan produksi perusahaan nasib buruh yang dipertaruhkan.
Terkait dengan substansi dari SKB 4 Menteri ada beberapa pasal yang krusial yang menunjukan ketidakadilan terhadap nasib kaum buruh. Pasal tersebut antara lain pasal 2 yaitu “Konsolidasi unsur pekerja/buruh dan pengusaha melalui forum LKS tripartit nasional dan daerah serta dewan pengupahan nasional dan daerah agar merumuskan rekomendasi penetapan upah minimum yang mendukung kelangsungan berusaha dan ketenangan bekerja dengan senantiasa memperhatikan kemampuan dunia usaha khususnya usaha padat karya dan pertumbuhan ekonomi nasional”.jelaslah bahwa pemerintah menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pemberian upah buruh kepada perusahaan. Sehingga terkesan pemerintah “menyelamatkan” para pengusaha. Kalau memang urusan upah minimun diserahkan kepada perusahaan dan tidak boleh melebihi pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen, maka semakin jauh kesejahteraan berpihak kepada kaum buruh. Padahal sudah jadi rahasia umum bahwa forum bipartite tidak pernah sesuai dengan harapan buruh.
Masih terkait pasal 2 menyebutkan “Upaya agar gubernur dalam menetapkan upah minimum dan segala kebijakan ketenagakerjaan di wilayahnya mendukung kelangsungan berusaha dan ketenagakerjaan dengan senantiasa memperhatikan kemampuan dunia usaha khususnya usaha padat karya dan pertumbuhan ekonomi nasional”. Pasal tersebut menegaskan bahwa Gubernur harus melihat kepentingan keberlangsungan usaha (para pengusaha) dalam menetapkan upah minimum. Hal ini sama saja menyuruh pemerintah daerah harus “berpihak” kepada pengusaha.
Yang terakhir adalah pasal 3, yang menyebutkan “Gubernur dalam menetapkan upah minimum mengupayakan agar tidak melebihi pertumbuhan ekonomi nasional”. Sangat disayangkan bahwa penetapan upah tidak melebihi pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6 persen sangat dirasakan jauh dari kesejahteraan kaum buruh.
Sedikit membingungkan memang, dalam Permenakertrans No.17 tahun 2005 menyebutkan bahwa penetapan upah minimum sesuai Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL), KHL merupakam standar kebutuhan yang harus dipenuhi seorang pekerja atau buruh lajang untuk dapat hidup layak, baik fisik, nonfisik, dan social, selama satu bulan. Oleh karena itu KHL menjadi salah satu pertimbangan dalam penetapan upah minimum, selain produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan dalam SKB 4 Mentri menetapkan upah minimum tidak boleh melebihi pertumbuhan 6 persen maka dimana letak keadilan untuk buruh, khususnya dalam pencapaian kebutuhan hidup layak?. Sebagai contoh, upah minimum Jakarta tahun ini sebesar Rp 972.604, 80 sedangkan KHL DKI Jakarta tahun ini sudah mencapai Rp 1.300.000,00.Kalau tahun depan kenaikan upah minimum hanya 6 persen berarti hanya menjadi Rp 1.039.610,00 angka tersebut bahkan masih jauh dari KHL tahun ini.
Ironis memang nasib kaum buruh kini, ditengah kebutuhan yang semakin tinggi justru pendapatan tidak meningkat. Bahkan ancaman PHK harus dihadapi oleh kaum buruh. Data per 25 November menyebutkan, akan ada rencana PHK sebanyak 23.284 orang dan orang yang akan dirumahkan 18.891 orang. Jika situasinya seperti ini, dapat diperkirakan jumlah kemiskinan akan meningkat. Menurut laporan ketenagakerjaan Organisasi Buruh Internasional (ILO), berjudul “Tren Ketenagakerjaan dan Sosial di Indonesia 2008”, sedikitnya 52,1 juta orang dari 108 juta pekerja tak mampu keluar dari jurang kemiskinan. Menjadi pekerjaan besar bagi pemerintah untuk dengan segera mencari solusi masalah tersebut. Tindakan yang dapat dilakukan pemerintah antara lain menjaga pertumbuhan inflasi, dan memberikan dana terhadap UKM agar tetap dapat menggerakan roda produksi. Apabila tidak, maka permasalahan baru akan muncul, Tidak salah jika penulis mengingtkan bahwa dampak riil yang akan terjadi di dalam masyarakat ialah tingkat kriminalitas akan meningkat. Percayalah!.

Sabtu, 13 September 2008

DAMPAK MODERNISASI TERHADAP PENDIDIKAN INDONESIA


Bagi bangsa yang ingin maju pendidikan adalah sebuah kebutuhan. Sama dengan kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Artinya dalam melaksanakan pembangunan, prioritas pembangunan tesebut adalah pendidikan. Karena pendidikan berkaitan dengan penguasaan warga negara dalam bidang pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

Bicara tentang dunia pendidikan di Indonesia mungkin tidak akan pernah ada akhirnya. Kesejahteraan guru dan dosen, isu Badan Hukum Pendidikan (BHP), sampai pada mahalnya biaya pendidikan. Selalu menghiasi wajah pendidikan kita.

Kebijakan pemerintah yang kembali menyesuaikan anggaran negara dengan memangkas 10% anggaran di tiap departemen, termasuk Departemen Pendidikan Nasional, membuat masyarakat kian pesimis. Pemotongan tersebut telah dipastikan seiring dengan ditetapkanya APBN-P 2008, April lalu (Kompas, 21/4/2008). Harapan masyarakat muncul ketika anggaran 20% untuk pendidikan dicantumkan dalam pasal 31 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945. Walaupun dalam implementasinya anggaran pendidikan sebesar 20%pun hanya menjadi isapan jempol belaka, kenaikan bertahap periode 2004-2009 secara bertahap mulai 6,6% (2004), 9,2%(2005), 12.01 %(2006), 14,68%(2007), 17,40%(2008) dan pada tahun 2009 sebesar 20,10 % lebih memuat nuansa politis menjelang pemilu 2009 (Pikiran Rakyat). Adalah hal yang tidak aneh lagi jika melihat anak kecil yang seharusnya duduk di bangku Sekolah Dasar berada dijalanan untuk mencari sesuap nasi. Ironis memang, tapi itulah realitasnya.

Minimnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan, memunculkan masalah baru. Yaitu meningkatnya jumlah pengangguran. Sistem yang berkembang tidak memberikan kesempatan pada mereka untuk memperoleh akses lapangan kerja. Fenomena pengangguran di negeri ini semakin beragam. Tak hanya dari golongan kurang terdidik. Pengenyam pendidikan tinggi pun tak luput dari ancaman itu. Kini lebih dari 1,5 juta sarjana dan ahli madya telah menganggur. Tahun 2009 ada 116,5 juta orang di negeri ini serbu pasar kerja. Ketika itu diperkirakan jumlah penduduk 228,9 juta orang, sebanyak 168,9 juta jiwa atau 73,3 persen diantaranya merupakan penduduk usia kerja. Dari jumlah ini, 116,5 juta orang atau 69 persen dari penduduk usia kerja dipastikan menyerbu pasar kerja sehingga sangat “menakutkan” karena pertumbuhan ekonomi belum jelas besarnya. (Kompas). Pertanyaanya adalah, apakah penyebab utama dari permasalahan tersebut?

Ketika produk Amerika Serikat yaitu Modernitas diagung-agungkan oleh setiap negara berkembang bagi terwujudnya masyarakat yang modern. Alasanya, teori modernisasi membantu memberikan secara implisit pembenaran hubungan kekuatan yang bertolak belakang antara hubungan tradisional dan modern, serta Teori Modernisasi mampu memberikan legitimasi tentang bantuan asing, khususnya dari Amerika Serikat. Maka, konsekuensi logis bagi negara berkembang ialah melakukan pembangunan ekonomi, mengganti nilai-nilai tradisional, dan melembagakan demokrasi politik. Terkait kepentingan Amerika Serikat dalam mendominasi kepentingan global. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Amerika Serikat dalam menancapkan pengaruhnya terhadap negara berkembang.

Dalam dinamikanya, modernisasi bertransformasi menjadi globalisasi (neoliberalisme). Yang lebih menekankan mekanisme pasar dalam kegiatan perekonomian negara. Strategi pemberian pinjaman hutang kepada negara berkembang, ternyata menyeret setiap negara berkembang dalam permasalahan serius, yaitu “pemotongan” APBN yang sejatinya digunakan untuk pembangunan, malah dikorbankan untuk menutupi hutang tersebut, (kompas,13/12/2007). Dalam hal ini rakyatlah yang menjadi korban.

Pastinya, kondisi tersebut berdampak pada dimensi kehidupan lainya, termasuk bidang pendidikan. Privatisasi pendidikan tidak dapat terhindarkan sebagai alternatif solusi. Pendidikan diproyeksikan menjadi Kebebasan Individu. Sehingga pendidikan menciptakan sebuah pertarungan yang mengharuskan ada sang pemenang dan sang pecundang. (Kompas, 13/2/2007)

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.

Dampak penting lainya ialah kesejahteraan dosen dan guru. Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot atau pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas. Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).

Globalisasi adalah masalah besar, negara harus dibangun oleh pemerintah yang kuat. Yang dapat memajukan masyarakatnya agar dapat meraih kemajuan-kemajuan dalam bidang ekonomi, politik, budaya, dan sosial. Hal ini dapat termotivasi lewat pendidikan. Selaras dengan Edi Cahyono serikat mahasiswa Bandar Lampung, Masyarakat dapat dimotiviasi dengan konsekuensi sikap tegas menolak imperialisme dan tentu saja liberalisme yang disodorkan oleh kaum imperialis melalui keputusan-keputusan menjerat yang dilakukan oleh negara-negara imperialis dan lembaga-lembaga kreditor.

Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan terkait dengan permasalahan ini. menurut hemat penulis, dalam kaitanya pendidikan mahal, pemerintah perlu membuat perencanaan yang strategis. (1) Pemantapan program subsidi silang wajib diberlakukan, sebagai pemerataan kesempatan meraih pendidikan. (2) Pemberdayaan lembaga pendidikan, melalui pembangunan-pembangunan sarana fisik yang menghasilkan profit, yang dapat menambah pendapatan. (3) Dikembangkanya Lembaga Pendidikan yang berbasis penelitian dan pengembangan sebagai langkah meningkatkan kualitas pendidikan. (4) Mengintensifkan program-program beasiswa, agar kesempatan siswa dalam mendapatkan pendidikan semakin mudah.

Dari sistem kurikulum. (5) perencanaan kurikulum yang berbasis nilai keagamaan dan umum patut dipertimbangkan. Karena selama ini kurikulum pendidikan selalu mendikotomikan ke dua hal tesebut. Sesungguhnya diakui atau tidak, sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Hal ini dapat dibuktikan antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagaman, dan khusus. Sehingga terciptanya individu-individiu yang berorientasi atau lebih mementingkan hal yang bersifat keduniawian atau diri sendiri tidak kepada hubungan antar manusia itu sendiri.

Dari model kepemimpinan, (6) kondisi tersebut dibutuhkan pemimpin yang amanah, yang memiliki keberanian dalam bertindak dan bersikap. Yang berani mengatakan perlawanan terhadapa segala bentuk imperialisme negara maju, perlawanan tersebut di wujudkan melalui nasionalisasi aset-aset nasional seperti FREEPORT, Blok Cepu, INDOSAT. Tindakan ini sebagai langkah mewujudkan pendidikan gratis dan peningkatan kualitas fisik pendidikan. Semoga solusi tersebut dapat menjawab tantangan dunia pendidikan saat ini.





Masa Depan Kepemimpinan Ekonomi di Indonesia


Hampir 10 tahun bergulirnya Reformasi di Indonesia ternyata tak memberikan dampak positif bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia. Malahan yang terjadi penduduk miskin Indonesia semakin meningkat jumlahnya dari 35 juta menjadi 45,7 juta jiwa (BPS). Hal ini sangatlah kontradiktif dengan Sumber Daya Alam melimpah yang dimiliki oleh negara Indonesia, yang seharusnya bisa menopang kesejahteraan rakyat Indonesia.

Demokrasi Prosedural

Apabila kita cermati fenomena yang terjadi 10 tahun terakhir di Indonesia. Demokrasi prosedural begitu pesat berkembang di Indonesia, namun tak berbanding lurus dengan kesejahteraan. Seperti pelaksanaan Pemilihan Umum tahun 2004 yaitu pemilihan pertama anggota parlemen dan presiden secara langsung oleh rakyat. Pemilihan umum 2004 pun juga yang mengantarkan Indonesia sebagai Negara ke-3 terdemokratis di dunia setelah Amerika Serikat dan India (Kompas, 3/5/2005). Demokrasi prosedural ini sarat dengan berbagai kepentingan pihak tertentu, khusunya partai politik. Yang menginginkan eksistensi partainya dalam kekuasaan. Tak jarang fungsi dari partai politik itu sendiri sering diabaikan. Yang salah satunya sebagai wadah aspirasi masyarakat. Pun juga, kemapanan system demokrasi prosedural ini dijadikan ranah kepantingan bagi para pemilik modal dalam bidang ekonomi.

Kendati pemilihan presiden dilaksanakan secara langsung oleh rakyat, Pemilu tersebut tak berhasil memunculkan pemimpin kuat yang dapat mengatasi permasalahan Indonesia. Bermodal legitimasi kuat dari rakyat Indonesia, sudah seharusnya pemimpin berpihak kepada rakyat. bukan menyengsarakan rakyat dengan berbagai kebijakan. Seperti, menaikan harga bahan bakar minyak (BBM), Impor beras, serta kenaikan tarif dasar listrik, yang malah menciptakan kondisi perekonomian baik secara makro maupun mikro terguncang hebat. Inflasi yang tinggi menyebabkan Harga dasar kebutuhan pokok merangkak naik, kondisi ini sangatlah tidak menguntungkan posisi rakyat kelas bawah sebagai mayoritas. Sejatinya, dalam demokrasi, harus adanya keterkaitan antara kesejahteraan rakyat dengan Pemilihan Pimpinan.

Menurut penulis, permasalahan dasar yang dihadapi oleh bangsa ini terletak pada sosok pemimpinnya. Bermodal legitimasi penuh dari rakyat, sudah seharusnya pemimpin berpihak kepada rakyat bukan kepada golongan tertentu. Hal inilah yang terjadi pada duet kepemimpinan SBY-JK, posisinya sebagai ketua partai menjadikan keduanya harus lebih mendengarkan aspirasi partainya jika mau aman di parleman, bukan kepada rakyat sebagai pemilihnya.

Tentunya tantangan terbesar masyarakat Indonesia dalam menghadapi pesta demokrasi pemilu 2009, ialah tidak boleh salah dalam memilih pemimpinya sendiri. Pemilih harus secara rasional menentukan pemimpinnya yang berkualitas, bukan dengan “iming-iming” beras. Kedepannya dalam memecahkan permasalahan ekonomi secara mikro seorang pemimpin haruslah memiliki karakter yang kuat, visioner serta keberpihakanya pada pelaku usaha kecil. Melalui pemberdayaan koperasi-koperasi dan memberikan bantuan kredit usaha pada pelaku ekonomi tingkat bawah dari tingkat desa hingga kabupaten/kota. Hal ini sebagai cara dalam menggerakan perekonomian kelas bawah.

Dalam kaitanya menggeliatkan pasar ekonomi masyarakat, pemimpin berikutnya wajib berani menciptakan regulasi-regulasi yang pro rakyat. Dengan mempertegas batas-batas keberadaan perusahaan besar, demi tertopangnya ekonomi tradisional. Sebagai contoh pembangunan Carrefur, alfa mart, Makro yang berorientasi profit wajib mengikuti standar pendirian bangunan di wilayah tertentu, sebagai tindakan preventif agar perekonomian wilayah tersebut tidak terjadi ketimpangan antara perusahaan tradisonal dengan perusahaan besar. Dalam strategi perekonomian makro, pemimpin berikut harus berani mengambil alih (Nasionalisasi) aset-aset yang dikuasai oleh asing, sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dalam pemerataan pembangunan. Serta, pemberantasan KKN yang tidak pandang bulu, agar pengalokasian dana-dana yang seharusnya dialokasikan untuk rakyat dapat tersalurkan dengan tepat.

Tentunya hadirnya pemimpin yang berkualitas ditentunkan oleh rakyat yang berkualitas pula, pendidikan masyarakat sangat penting dalam hal ini. Jika negara ini tak ingin terperosok lebih dalam ke lubang kehancuran, maka kriteria pemimpin tersebut haruslah dimiliki dan dipilih oleh rakyat Indonesia.