Kamis, 04 Desember 2008

pro kontra SKB 4 MENTRI

PRO dan KONTRA SKB 4 MENTRI


Pro Kontra surat keputusan bersama 4 menteri atau disingkat SKB 4 MENTRI terus terjadi, di berbagai daerah ribuan buruh terus melakukan demonstrasi menuntut agar keputusan ini segera dicabut karena dirasakan hanya memihak kepada pemilik modal atau perusahaan.
SKB yang ditandatangani oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno, Menteri Perindustrian Fahmi Idris, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto dan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dimaksudkan sebagai langkah untuk menyelamatkan dunia usaha dalam negeri dalam mengantisipasi krisis ekonomi global. Krisis ekonomi memberikan dampak langsung bagi keberlangsungan perusahaan yang bergerak dalam bidang ekspor. Turunnya permintaan Negara tujuan ekspor membuat volume ekspor menurun yang membuat perusahaan harus bekerja keras untuk dapat mempertahankan produksinya. Kondisi tersebut kemudian memunculkan polemik antara perusahaan dengan buruh, singkat kata demi menjaga keberlangsungan produksi perusahaan nasib buruh yang dipertaruhkan.
Terkait dengan substansi dari SKB 4 Menteri ada beberapa pasal yang krusial yang menunjukan ketidakadilan terhadap nasib kaum buruh. Pasal tersebut antara lain pasal 2 yaitu “Konsolidasi unsur pekerja/buruh dan pengusaha melalui forum LKS tripartit nasional dan daerah serta dewan pengupahan nasional dan daerah agar merumuskan rekomendasi penetapan upah minimum yang mendukung kelangsungan berusaha dan ketenangan bekerja dengan senantiasa memperhatikan kemampuan dunia usaha khususnya usaha padat karya dan pertumbuhan ekonomi nasional”.jelaslah bahwa pemerintah menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pemberian upah buruh kepada perusahaan. Sehingga terkesan pemerintah “menyelamatkan” para pengusaha. Kalau memang urusan upah minimun diserahkan kepada perusahaan dan tidak boleh melebihi pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen, maka semakin jauh kesejahteraan berpihak kepada kaum buruh. Padahal sudah jadi rahasia umum bahwa forum bipartite tidak pernah sesuai dengan harapan buruh.
Masih terkait pasal 2 menyebutkan “Upaya agar gubernur dalam menetapkan upah minimum dan segala kebijakan ketenagakerjaan di wilayahnya mendukung kelangsungan berusaha dan ketenagakerjaan dengan senantiasa memperhatikan kemampuan dunia usaha khususnya usaha padat karya dan pertumbuhan ekonomi nasional”. Pasal tersebut menegaskan bahwa Gubernur harus melihat kepentingan keberlangsungan usaha (para pengusaha) dalam menetapkan upah minimum. Hal ini sama saja menyuruh pemerintah daerah harus “berpihak” kepada pengusaha.
Yang terakhir adalah pasal 3, yang menyebutkan “Gubernur dalam menetapkan upah minimum mengupayakan agar tidak melebihi pertumbuhan ekonomi nasional”. Sangat disayangkan bahwa penetapan upah tidak melebihi pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6 persen sangat dirasakan jauh dari kesejahteraan kaum buruh.
Sedikit membingungkan memang, dalam Permenakertrans No.17 tahun 2005 menyebutkan bahwa penetapan upah minimum sesuai Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL), KHL merupakam standar kebutuhan yang harus dipenuhi seorang pekerja atau buruh lajang untuk dapat hidup layak, baik fisik, nonfisik, dan social, selama satu bulan. Oleh karena itu KHL menjadi salah satu pertimbangan dalam penetapan upah minimum, selain produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan dalam SKB 4 Mentri menetapkan upah minimum tidak boleh melebihi pertumbuhan 6 persen maka dimana letak keadilan untuk buruh, khususnya dalam pencapaian kebutuhan hidup layak?. Sebagai contoh, upah minimum Jakarta tahun ini sebesar Rp 972.604, 80 sedangkan KHL DKI Jakarta tahun ini sudah mencapai Rp 1.300.000,00.Kalau tahun depan kenaikan upah minimum hanya 6 persen berarti hanya menjadi Rp 1.039.610,00 angka tersebut bahkan masih jauh dari KHL tahun ini.
Ironis memang nasib kaum buruh kini, ditengah kebutuhan yang semakin tinggi justru pendapatan tidak meningkat. Bahkan ancaman PHK harus dihadapi oleh kaum buruh. Data per 25 November menyebutkan, akan ada rencana PHK sebanyak 23.284 orang dan orang yang akan dirumahkan 18.891 orang. Jika situasinya seperti ini, dapat diperkirakan jumlah kemiskinan akan meningkat. Menurut laporan ketenagakerjaan Organisasi Buruh Internasional (ILO), berjudul “Tren Ketenagakerjaan dan Sosial di Indonesia 2008”, sedikitnya 52,1 juta orang dari 108 juta pekerja tak mampu keluar dari jurang kemiskinan. Menjadi pekerjaan besar bagi pemerintah untuk dengan segera mencari solusi masalah tersebut. Tindakan yang dapat dilakukan pemerintah antara lain menjaga pertumbuhan inflasi, dan memberikan dana terhadap UKM agar tetap dapat menggerakan roda produksi. Apabila tidak, maka permasalahan baru akan muncul, Tidak salah jika penulis mengingtkan bahwa dampak riil yang akan terjadi di dalam masyarakat ialah tingkat kriminalitas akan meningkat. Percayalah!.