Senin, 04 Mei 2009

MASYARAKAT DAN BUDAYA SALING “MENGINGATKAN”

Segala kekurangan pada pelaksanaan pemilu legislatif kemarin, kiranya dapat dijadikan pelajaran berharga untuk masa depan, tulisan ini juga bukan dimaksudkan untuk mengesampingkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi untuk dilewatkan begitu saja tanpa dikoreksi secara kritis. Melihat hasil pileg yang lalu upaya kembali mengkaji fungsi serta kedudukan masyarakat dalam setiap proses politik wajib dilakukan. Hal ini dirasakan perlu karena di setiap proses politik biasanya berdampak pada dinamika masyarakat, seperti kasus hilangnya hak politik masyarakat secara massif pada pileg kemarin, sebagian masyarakat memilih tindakan anarkis dalam meluapkan kekecewaannya.
Sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi, jika hukum yang berlaku dengan cepat membuktikan mana yang salah dan mana yang benar. Namun, terlepas dari itu, kejadian ini memberikan hikmah tersendiri bagi bangsa ini kedepannya, yaitu bahwa sebelum melaksanakan sesuatu haruslah berdasarkan ketelitian, dan lebih mendahulukan rasa keadilan pada sesama agar tidak ada yang dirugikan. Sikap mencegah ini harus konsisten diperjuangkan agar menjadi budaya yang mengakar hidup dalam keseharian masyarakat.
Kita sedang tidak berandai-andai, hikmah ini harus segera diterjemahkan dan dilaksanakan. Oleh karenanya, penciptaan budaya seperti itu harus dimulai dari membaca ulang peran masyarakat dalam kehidupan, khususnya dalam hubungannya dengan negara. Budaya ini dapat dimulai dengan gagasan bahwa masyarakat harus mampu menciptakan posisi tawar kuat dengan negara yang mampu mengoreksi pemerintah ketika salah, dalam konteks ini masyarakat mampu menjadi kekuatan penyeimbang (balancing power) ketika berhadapan dengan negara. Wacana ini mutlak harus mendominasi dalam setiap tindakan masyarakat kedepannya. Namun, persoalannya adalah, apakah saat ini masyarakat sudah mampu mengintegrasikan kepentingannya dalam sebuah kekuatan besar yang mampu memiliki posisi tawar tinggi dengan negara?.
Melihat kenyataan yang ada, harus diakui masyarakat saat ini masih jauh dari nilai-nilai ideal. Masyarakat masih tercerai berai dalam arti lebih mementingkan diri sendiri, masyarakat menilai kebebasan dalam demokrasi adalah mengkritik tanpa mau dikritik, dan tidak mau menerima kekalahan. Tindakan itu diperparah oleh perilaku sebagian elit politik, yang sikapnya tidak jauh berbeda seperti yang disebutkan diatas. Sesungguhnya sikap ini harus dihilangkan dan dirubah. Tindakan negatif ini dapat memecah belah masyarakat dan berpotensi menimbulkan konflik antar masyarakat (horizontal).
Merubah sifat yang ada dalam masyarakat ini, tidak semudah membalikan telapak tangan. Persoalan ini haruslah dimulai dari kesadaran masing-masing individu dalam masyarakat. Mengakui kesalahan dan mau bertanggung jawab adalah nilai luhur yang harus segera dimiliki oleh bangsa ini. Peran pemerintah adalah dalam menciptakan sebuah pondasi kejujuran dalam membangun Indonesia kedepannya. Jika hal ini dilakukan, budaya untuk saling mengoreksi atau mengingatkan akan terwujud, karena diantara masyarakat dan pemerintah berlandaskan sama-sama ingin adil. Maka, kemandirian masyarakat dengan negara tidak mustahil dapat tercipta.
Integrasi
Banyak hikmah yang didapat dari pileg kemarin. Salah satunya tersadarkannya masyarakat Indonesia untuk saling menghargai, saling mengingatkan, dan saling menjunjung kejujuran. Namun, budaya mengingatkan itu haruslah ditempuh dengan cara yang mulia kedepannya. Yaitu dengan mengintegrasikan kekuatan dalam bentuk lembaga atau organisasi seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media massa dan Perguruan Tinggi. Cara ini berkorelasi positif dengan penguatan demokrasi yang ada. Bersatunya masyarakat dalam sebuah kekuatan yang terorganisir diharapkan mampu menjadi mitra pemerintah, sehingga agenda perubahan yang dicita-citakan dapat diwujudkan secara bersama-sama.

Teja Kusuma
Mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan angkatan 2005 FISIP Unpad
Sekum DPC GMNI Kab.Sumedang

MENJAMIN KESEJAHTERAAN UNTUK PENDIDIKAN

Setiap tanggal 2 Mei bangsa ini selalu memperingati sebagai hari pendidikan, hari dimana bangsa ini selalu melakukan refleksi kembali tentang pentingnya pendidikan. Sebelum jauh menyelami persoalan pendidikan di Indonesia, kiranya kita harus memahami terlebih dahulu bahwa bangsa yang ingin maju menempatkan pendidikan dalam sebuah kebutuhan. Sama dengan kebutuhan pangan, sandang dan papan. Artinya dalam melaksanakan pembangunan, prioritas pembangunan tersebut adalah pendidikan. Karena pendidikan berkaitan dengan penguasaan warga negara dalam bidang pengetahuan dan teknologi.
Menyoal kembali dunia pendidikan Indonesia tak urung seperti manusia yang selalu bercermin, artinya kegiatan yang tidak pernah selesai, dan selalu berulang. Banyak hal yang dapat menjelaskan masalah ini, salah satunya ialah komitmen pemerintah dalam menyediakan pendidikan layak bagi rakyat. Walaupun pemerintah mencanangkan pendidikan gratis tahun ini, tetap saja angka putus sekolah masih terbilang tinggi, kondisi ini mengharuskan pemerintah bukan hanya sekedar komitmen tetapi harus segera mewujudkannya. Pertanyaanya ialah apa yang harus segera diwujudkan oleh pemerintah?.
Kesejahteraan
Hal yang wajar jika kita selalu mengangkat persoalan pendidikan ke permukaan menjadi masalah. Terdapat dua point utama yang perlu dikaji terkait dengan masalah pendidikan di Indonesia. Pertama, kesejahteraan dan kesempatan warga negara dalam memperoleh pendidikan dan fasilitas sarana dan prasarana pendidikan.
Terkait dengan kesempatan warga negara, pemerintah sudah merencanakan program pendidikan gratis tahun ini, hal ini berarti setiap warga negara sudah dijamin dalam mendapatkan pendidikan. Kebijakan ini diperkirakan akan menyelamatkan angka putus sekolah, dimana jumlah anak putus sekolah SD setiap tahun rata-rata berjumlah 600.000 hingga 700.000 siswa. Sementara itu, jumlah mereka yang tidak menyelesaikan sekolahnya di SMP sekitar 150.000 sampai 200.000 orang. Melihat jumlah tersebut tampaknya faktor ekonomi menjadi persoalan utama terhadap tingginya angka putus sekolah. Saya mengajak khalayak untuk berfikir untuk mempertimbangkan faktor tingkat kesejahteraan masyarakat itu sendiri sebagai pangkal penyebab. Saya memandang kebutuhan hidup yang semakin besar turut berdampak pada pertimbangan orang tua dalam mensekolahkan anaknya. Hampir mayoritas anak yang putus sekolah ialah anak dari keluarga yang miskin yang jumlahnya kini hampir tiga puluh lima (35) juta jiwa pada tahun 2008, sehingga dalam memenuhi kebutuhan yang serba sulit anaklah yang menjadi alat untuk bekerja mencari uang. Oleh Karena itu pemerintah janganlah berpaling dengan kenyataan ini, program pengentasan kemiskinan harus mendapat prioritas utama jika ingin program pendidikan gratis berhasil.
Sementara itu, jika kesejahteraan rakyat sudah terpenuhi maka muara kebijakan pemerintah selanjutnya ialah meningkatlan kualitas sarana dan prasarana pendidikan itu sendiri. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah terkait dengan peningkatan kualitas, seperti “label” guru yang berkualitas ditempatkan secara proporsional. Artinya pemerintah harus menjamin pemerataan tenaga pendidik yang berkualitas di setiap daerah, agar tidak terjadi ketimpangan tenaga pendidik. Penyediaan kurikulum yang berbasis penelitian dan pengembangan, hal ini perlu dilakukan sebagai langkah meningkatkan kualitas pendidikan. Dan yang terakhir ialah pemberdayaan lembaga pendidikan, melalui pembangunan sarana fisik yang layak, seperti gedung, laboratorium, dan perangkat keras lainnya.
Jika satu persatu masalah pendidikan mampu diselesaikan dari tingkat hulu ke hilir maka kesejahteraan pendidikan dapat segera terwujud. Persoalan putus sekolah tampaknya akan semakin berbelit jika berkaca pada situasi ekonomi negara saat ini yang sedang dilanda krisis. Apabila dikaitkan dengan semakin rapuhnya industri sehingga mengancam terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK), bukan mustahil angka putus sekolah akan semakin meningkat.



Teja Kusuma
Mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan angkatan 2005 FISIP Unpad
Sekum DPC GMNI KAB.SUMEDANG

Rabu, 08 April 2009

MEMBACA ULANG PERAN MASYARAKAT DALAM PEMILU

Diskursus publik mengenai peran masyarakat dalam pemilu khususnya pemilihan legislatif saat ini masih di dominasi oleh anggapan bahwa masyarakat hanya sebagai objek bukan sebagai subjek, sehingga masyarakat masih diposisikan sebagai “mainan” oleh setiap calon legislatif (caleg) yang ingin duduk dalam pemerintahan bukan diposisikan sebagai pemegang kadaulatan tertinggi, secara sederhana kedaulatan adalah memerintah sendiri. Mengutip pendapat Soekarno bahwa rakyat haru menjadi raja dalam lapangan politik. Kita setuju bahwa seharusnya masyarakat menjadi “raja” dalam proses politik, bukan sebagai “budak” para kontestan pemilu. Namun, kenyataanya saat ini masyarakat hanya dijadikan budak dengan dijadikan komoditas politik sesaat untuk meraih keuntungan dalam mendulang suara para kontestan, tentunya hal ini sudah keluar jalur dari yang dicita-citakan. Tentunya harapan besar pada pemilu nanti yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 April dapat dijadikan momentum untuk kembali membaca dimana seharusnya peran dan kedudukan rakyat di dalam pemilu.
Terkait dengan mengembalikan peran masyarakat dalam pemilu tidak terlepas dengan konsep membangun masyarakat yang berdaya oleh pemerintah. Bahwa peran pemerintah dalam hal ini dapat ditunjukan dengan membuka ruang-ruang publik dan informasi yang dapat diakses oleh masyarakat luas, sehingga masyarakat mampu berpartisipasi dalam setiap kebijakan yang dibuat, melalui partisipasi harapannya adalah masyarakat mampu menjadi mitra pemerintah tentunya partisipasi dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara secara konstruktif. Kaitannya dengan pemilu hari ini, partisipasi terwakilkan secara baik dalam model dan sistem secara terbuka, setiap orang untuk bisa berpartisipasi penuh dalam hal dipilih maupun memilih. Sebenarnya situasi tersebut menuju kearah yang positif, yaitu penguatan kesetaraan (egality) dalam hak-hak individu diakui. Hal ini juga menguatkan demokratisasi yang sedang terbangun.
Namun, penulis memiliki catatan kritis dengan kondisi yang ada. Bahwa dengan banyaknya partisipasi masyarakat yang mendaftarkan diri menjadi calon legislatif (caleg), maka masyarakat sebagai yang memilih hanya dijadikan sasaran untuk memenuhi hasrat kemenangan, sehingga dalam pelaksanaanya cara apapun akan dilakukan oleh sang caleg demi meraih kemenangan. Karena itu sudah tak aneh jika saat ini kita melihat banyak caleg memberikan uang atau barang lainnya untuk meyakinkan masyarakat untuk memilihnya dan parahnya masyarakat terbuai dengan pemberian sang caleg, sehingga terbangun paradigma musim kampanye ini adalah musimnya bagi-bagi uang atau barang bukan untuk mengagendakan perubahan. Apabila kita lihat lebih jauh, ketimpangan antara harapan dan kenyataan benar-benar terjadi. Masyarakat dijadikan komoditas politik saja bukan sebagai aktor yang harusnya bersikap kritis terhadap kondisi tersebut. Dari kenyataan tersebut dirasakan belum terjadi upaya maksimal dari masyarakat dalam membangun pondasi politik yang kuat untuk masa selanjutnya.
Membangun sebuah masyarakat yang mandiri dan berdaya tentunya tidak semudah membalikan telapak tangan, diperlukan sebuah keseriusan seluruh elemen yang terkait terutama dari dalam masyarakat itu sendiri. Strategi yang dapat dilakukan ialah masyarakat harus berani mengintegrasikan dirinya menjadi sebuah kekuatan dalam bentuk lembaga ataupun organisasi, sehingga memiliki daya tawar tinggi ketika berhadapan dengan Negara. Lembaga-lembaga publik non Negara atau disebut Civil Society Organization (CSO) seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media massa, Perguruan Tinggi sebagai lembaga yang memiliki akses terhadap pemerintahan harus dimaksimalkan kembali. De tecquevill mendefinisikan civil society sebagai wilayah kehidupan sosial yang mandiri yang bercirikan kesukarelaan, keswasembadaan, dan keswadayaan yang di dalamnya terdapat masyarakat yang kuat ketika berhadapan dengan negara. Kekuatan tersebut masih dalam lingkup masyarakat mentaati norma-norma atau aturan yang berlaku.
Kaitannya dengan mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemilu, pengawasan terhadap setiap calon anggota legislatif mutlak harus dilakukan oleh masyarakat yang terintegrasi dalam lembaga-lembaga non Negara Civil Society Organization (CSO). Adapun bentuk pengawasan yang dapat dilakukan civil society organization (CSO) dalam mewujudkan kedaulatan masyarakat adalah lembaga-lembaga publik non Negara atau Civil Society Organization (CSO) seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, media massa, Perguruan Tinggi dapat melakukan pendidikan kepada masyarakat luas, pengawasan publik serta pembelaan (advokasi) masyarakat. Patut disadari bahwa hampir mayoritas penduduk Indonesia masih rendah tingkat pendidikannya, sehingga dengan adanya pendidikan politik ini diharapkan masyarakat dapat mengetahui hak-hak politiknya secara sadar sehinga rasional dalam menentukan pilihannya kelak. Pun juga, Setiap calon yang ada perlu dibangun komitmennya dalam bentuk kontrak politik terhadap masyarakat, sehingga janji-janji yang diucapkan pada saat kampanye dapat dipantau untuk diselaraskan dengan kinerjanya. Adapun pembelaan terhadap masyarakat dapat dilakukan sebagai wujud pendampingan terhadap hak-hak politik masyarakat, sehingga setiap calon yang ingin maju tidak bisa sewenang-wenang terhadap masyarakat.
Pada akhirnya dalam membangun hubungan antara masyarakat dengan calon anggota legislatif pada masa kampanye ini harus dimulai dari dalam masyarakat, sehingga tercipta sinergitas antara kebutuhan masyarakat dengan kinerja calon jika terpilih nanti. Hanya masyarakat yang mampu mengetahui hak-hak politiknya secara sadar nantinya memiliki posisi tawar (bargaining position) yang tinggi terhadap sang calon, sehingga agenda perubahan yang dicita-citakan dapat diwujudkan.

Teja Kusuma
Mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan angkatan 2005 FISIP Unpad