Rabu, 08 April 2009

MEMBACA ULANG PERAN MASYARAKAT DALAM PEMILU

Diskursus publik mengenai peran masyarakat dalam pemilu khususnya pemilihan legislatif saat ini masih di dominasi oleh anggapan bahwa masyarakat hanya sebagai objek bukan sebagai subjek, sehingga masyarakat masih diposisikan sebagai “mainan” oleh setiap calon legislatif (caleg) yang ingin duduk dalam pemerintahan bukan diposisikan sebagai pemegang kadaulatan tertinggi, secara sederhana kedaulatan adalah memerintah sendiri. Mengutip pendapat Soekarno bahwa rakyat haru menjadi raja dalam lapangan politik. Kita setuju bahwa seharusnya masyarakat menjadi “raja” dalam proses politik, bukan sebagai “budak” para kontestan pemilu. Namun, kenyataanya saat ini masyarakat hanya dijadikan budak dengan dijadikan komoditas politik sesaat untuk meraih keuntungan dalam mendulang suara para kontestan, tentunya hal ini sudah keluar jalur dari yang dicita-citakan. Tentunya harapan besar pada pemilu nanti yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 April dapat dijadikan momentum untuk kembali membaca dimana seharusnya peran dan kedudukan rakyat di dalam pemilu.
Terkait dengan mengembalikan peran masyarakat dalam pemilu tidak terlepas dengan konsep membangun masyarakat yang berdaya oleh pemerintah. Bahwa peran pemerintah dalam hal ini dapat ditunjukan dengan membuka ruang-ruang publik dan informasi yang dapat diakses oleh masyarakat luas, sehingga masyarakat mampu berpartisipasi dalam setiap kebijakan yang dibuat, melalui partisipasi harapannya adalah masyarakat mampu menjadi mitra pemerintah tentunya partisipasi dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara secara konstruktif. Kaitannya dengan pemilu hari ini, partisipasi terwakilkan secara baik dalam model dan sistem secara terbuka, setiap orang untuk bisa berpartisipasi penuh dalam hal dipilih maupun memilih. Sebenarnya situasi tersebut menuju kearah yang positif, yaitu penguatan kesetaraan (egality) dalam hak-hak individu diakui. Hal ini juga menguatkan demokratisasi yang sedang terbangun.
Namun, penulis memiliki catatan kritis dengan kondisi yang ada. Bahwa dengan banyaknya partisipasi masyarakat yang mendaftarkan diri menjadi calon legislatif (caleg), maka masyarakat sebagai yang memilih hanya dijadikan sasaran untuk memenuhi hasrat kemenangan, sehingga dalam pelaksanaanya cara apapun akan dilakukan oleh sang caleg demi meraih kemenangan. Karena itu sudah tak aneh jika saat ini kita melihat banyak caleg memberikan uang atau barang lainnya untuk meyakinkan masyarakat untuk memilihnya dan parahnya masyarakat terbuai dengan pemberian sang caleg, sehingga terbangun paradigma musim kampanye ini adalah musimnya bagi-bagi uang atau barang bukan untuk mengagendakan perubahan. Apabila kita lihat lebih jauh, ketimpangan antara harapan dan kenyataan benar-benar terjadi. Masyarakat dijadikan komoditas politik saja bukan sebagai aktor yang harusnya bersikap kritis terhadap kondisi tersebut. Dari kenyataan tersebut dirasakan belum terjadi upaya maksimal dari masyarakat dalam membangun pondasi politik yang kuat untuk masa selanjutnya.
Membangun sebuah masyarakat yang mandiri dan berdaya tentunya tidak semudah membalikan telapak tangan, diperlukan sebuah keseriusan seluruh elemen yang terkait terutama dari dalam masyarakat itu sendiri. Strategi yang dapat dilakukan ialah masyarakat harus berani mengintegrasikan dirinya menjadi sebuah kekuatan dalam bentuk lembaga ataupun organisasi, sehingga memiliki daya tawar tinggi ketika berhadapan dengan Negara. Lembaga-lembaga publik non Negara atau disebut Civil Society Organization (CSO) seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media massa, Perguruan Tinggi sebagai lembaga yang memiliki akses terhadap pemerintahan harus dimaksimalkan kembali. De tecquevill mendefinisikan civil society sebagai wilayah kehidupan sosial yang mandiri yang bercirikan kesukarelaan, keswasembadaan, dan keswadayaan yang di dalamnya terdapat masyarakat yang kuat ketika berhadapan dengan negara. Kekuatan tersebut masih dalam lingkup masyarakat mentaati norma-norma atau aturan yang berlaku.
Kaitannya dengan mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemilu, pengawasan terhadap setiap calon anggota legislatif mutlak harus dilakukan oleh masyarakat yang terintegrasi dalam lembaga-lembaga non Negara Civil Society Organization (CSO). Adapun bentuk pengawasan yang dapat dilakukan civil society organization (CSO) dalam mewujudkan kedaulatan masyarakat adalah lembaga-lembaga publik non Negara atau Civil Society Organization (CSO) seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, media massa, Perguruan Tinggi dapat melakukan pendidikan kepada masyarakat luas, pengawasan publik serta pembelaan (advokasi) masyarakat. Patut disadari bahwa hampir mayoritas penduduk Indonesia masih rendah tingkat pendidikannya, sehingga dengan adanya pendidikan politik ini diharapkan masyarakat dapat mengetahui hak-hak politiknya secara sadar sehinga rasional dalam menentukan pilihannya kelak. Pun juga, Setiap calon yang ada perlu dibangun komitmennya dalam bentuk kontrak politik terhadap masyarakat, sehingga janji-janji yang diucapkan pada saat kampanye dapat dipantau untuk diselaraskan dengan kinerjanya. Adapun pembelaan terhadap masyarakat dapat dilakukan sebagai wujud pendampingan terhadap hak-hak politik masyarakat, sehingga setiap calon yang ingin maju tidak bisa sewenang-wenang terhadap masyarakat.
Pada akhirnya dalam membangun hubungan antara masyarakat dengan calon anggota legislatif pada masa kampanye ini harus dimulai dari dalam masyarakat, sehingga tercipta sinergitas antara kebutuhan masyarakat dengan kinerja calon jika terpilih nanti. Hanya masyarakat yang mampu mengetahui hak-hak politiknya secara sadar nantinya memiliki posisi tawar (bargaining position) yang tinggi terhadap sang calon, sehingga agenda perubahan yang dicita-citakan dapat diwujudkan.

Teja Kusuma
Mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan angkatan 2005 FISIP Unpad