Sabtu, 13 September 2008

DAMPAK MODERNISASI TERHADAP PENDIDIKAN INDONESIA


Bagi bangsa yang ingin maju pendidikan adalah sebuah kebutuhan. Sama dengan kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Artinya dalam melaksanakan pembangunan, prioritas pembangunan tesebut adalah pendidikan. Karena pendidikan berkaitan dengan penguasaan warga negara dalam bidang pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

Bicara tentang dunia pendidikan di Indonesia mungkin tidak akan pernah ada akhirnya. Kesejahteraan guru dan dosen, isu Badan Hukum Pendidikan (BHP), sampai pada mahalnya biaya pendidikan. Selalu menghiasi wajah pendidikan kita.

Kebijakan pemerintah yang kembali menyesuaikan anggaran negara dengan memangkas 10% anggaran di tiap departemen, termasuk Departemen Pendidikan Nasional, membuat masyarakat kian pesimis. Pemotongan tersebut telah dipastikan seiring dengan ditetapkanya APBN-P 2008, April lalu (Kompas, 21/4/2008). Harapan masyarakat muncul ketika anggaran 20% untuk pendidikan dicantumkan dalam pasal 31 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945. Walaupun dalam implementasinya anggaran pendidikan sebesar 20%pun hanya menjadi isapan jempol belaka, kenaikan bertahap periode 2004-2009 secara bertahap mulai 6,6% (2004), 9,2%(2005), 12.01 %(2006), 14,68%(2007), 17,40%(2008) dan pada tahun 2009 sebesar 20,10 % lebih memuat nuansa politis menjelang pemilu 2009 (Pikiran Rakyat). Adalah hal yang tidak aneh lagi jika melihat anak kecil yang seharusnya duduk di bangku Sekolah Dasar berada dijalanan untuk mencari sesuap nasi. Ironis memang, tapi itulah realitasnya.

Minimnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan, memunculkan masalah baru. Yaitu meningkatnya jumlah pengangguran. Sistem yang berkembang tidak memberikan kesempatan pada mereka untuk memperoleh akses lapangan kerja. Fenomena pengangguran di negeri ini semakin beragam. Tak hanya dari golongan kurang terdidik. Pengenyam pendidikan tinggi pun tak luput dari ancaman itu. Kini lebih dari 1,5 juta sarjana dan ahli madya telah menganggur. Tahun 2009 ada 116,5 juta orang di negeri ini serbu pasar kerja. Ketika itu diperkirakan jumlah penduduk 228,9 juta orang, sebanyak 168,9 juta jiwa atau 73,3 persen diantaranya merupakan penduduk usia kerja. Dari jumlah ini, 116,5 juta orang atau 69 persen dari penduduk usia kerja dipastikan menyerbu pasar kerja sehingga sangat “menakutkan” karena pertumbuhan ekonomi belum jelas besarnya. (Kompas). Pertanyaanya adalah, apakah penyebab utama dari permasalahan tersebut?

Ketika produk Amerika Serikat yaitu Modernitas diagung-agungkan oleh setiap negara berkembang bagi terwujudnya masyarakat yang modern. Alasanya, teori modernisasi membantu memberikan secara implisit pembenaran hubungan kekuatan yang bertolak belakang antara hubungan tradisional dan modern, serta Teori Modernisasi mampu memberikan legitimasi tentang bantuan asing, khususnya dari Amerika Serikat. Maka, konsekuensi logis bagi negara berkembang ialah melakukan pembangunan ekonomi, mengganti nilai-nilai tradisional, dan melembagakan demokrasi politik. Terkait kepentingan Amerika Serikat dalam mendominasi kepentingan global. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Amerika Serikat dalam menancapkan pengaruhnya terhadap negara berkembang.

Dalam dinamikanya, modernisasi bertransformasi menjadi globalisasi (neoliberalisme). Yang lebih menekankan mekanisme pasar dalam kegiatan perekonomian negara. Strategi pemberian pinjaman hutang kepada negara berkembang, ternyata menyeret setiap negara berkembang dalam permasalahan serius, yaitu “pemotongan” APBN yang sejatinya digunakan untuk pembangunan, malah dikorbankan untuk menutupi hutang tersebut, (kompas,13/12/2007). Dalam hal ini rakyatlah yang menjadi korban.

Pastinya, kondisi tersebut berdampak pada dimensi kehidupan lainya, termasuk bidang pendidikan. Privatisasi pendidikan tidak dapat terhindarkan sebagai alternatif solusi. Pendidikan diproyeksikan menjadi Kebebasan Individu. Sehingga pendidikan menciptakan sebuah pertarungan yang mengharuskan ada sang pemenang dan sang pecundang. (Kompas, 13/2/2007)

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.

Dampak penting lainya ialah kesejahteraan dosen dan guru. Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot atau pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas. Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).

Globalisasi adalah masalah besar, negara harus dibangun oleh pemerintah yang kuat. Yang dapat memajukan masyarakatnya agar dapat meraih kemajuan-kemajuan dalam bidang ekonomi, politik, budaya, dan sosial. Hal ini dapat termotivasi lewat pendidikan. Selaras dengan Edi Cahyono serikat mahasiswa Bandar Lampung, Masyarakat dapat dimotiviasi dengan konsekuensi sikap tegas menolak imperialisme dan tentu saja liberalisme yang disodorkan oleh kaum imperialis melalui keputusan-keputusan menjerat yang dilakukan oleh negara-negara imperialis dan lembaga-lembaga kreditor.

Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan terkait dengan permasalahan ini. menurut hemat penulis, dalam kaitanya pendidikan mahal, pemerintah perlu membuat perencanaan yang strategis. (1) Pemantapan program subsidi silang wajib diberlakukan, sebagai pemerataan kesempatan meraih pendidikan. (2) Pemberdayaan lembaga pendidikan, melalui pembangunan-pembangunan sarana fisik yang menghasilkan profit, yang dapat menambah pendapatan. (3) Dikembangkanya Lembaga Pendidikan yang berbasis penelitian dan pengembangan sebagai langkah meningkatkan kualitas pendidikan. (4) Mengintensifkan program-program beasiswa, agar kesempatan siswa dalam mendapatkan pendidikan semakin mudah.

Dari sistem kurikulum. (5) perencanaan kurikulum yang berbasis nilai keagamaan dan umum patut dipertimbangkan. Karena selama ini kurikulum pendidikan selalu mendikotomikan ke dua hal tesebut. Sesungguhnya diakui atau tidak, sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Hal ini dapat dibuktikan antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagaman, dan khusus. Sehingga terciptanya individu-individiu yang berorientasi atau lebih mementingkan hal yang bersifat keduniawian atau diri sendiri tidak kepada hubungan antar manusia itu sendiri.

Dari model kepemimpinan, (6) kondisi tersebut dibutuhkan pemimpin yang amanah, yang memiliki keberanian dalam bertindak dan bersikap. Yang berani mengatakan perlawanan terhadapa segala bentuk imperialisme negara maju, perlawanan tersebut di wujudkan melalui nasionalisasi aset-aset nasional seperti FREEPORT, Blok Cepu, INDOSAT. Tindakan ini sebagai langkah mewujudkan pendidikan gratis dan peningkatan kualitas fisik pendidikan. Semoga solusi tersebut dapat menjawab tantangan dunia pendidikan saat ini.





Tidak ada komentar: