Sabtu, 13 September 2008

(Haruskah) Bertahan di Pusaran Global?


Memang harus diakui bahwa situasi ekonomi dunia saat ini kian menunjukan keberpihakannya pada setiap penguasa, bukan sebagai pemberi kehidupan

bagi para penghuninya.”


Globalisasi sudah menjadi penyakit tahunan bagi keberlangsungan Negara yang ingin berdaulat secara ekonomi. Globalisasi menuntut suatu Negara menyeragamkan pola fikir dan tindakan yang selaras dengan keinginan para pemilik modal. Dampak yang terjadi ialah pengurangan subsidi BBM oleh Negara, privatisasi perusahaan Negara seperti INDOSAT, bahkan penguasaan FREEPORT, Blok Cepu oleh pihak asing tak bisa dihindarkan. Meminjam kata Karl Marx bahwa negara hanya sebagai alat untuk segelintir minoritas orang yang menguasai alat-alat produksi.

Kondisi saat ini menggambarkan sebuah penjajahan baru (new imperialisme) yang bersifat non fisik. Seperti liberalisasi pendidikan, yang akan menambah daftar panjang generasi putus sekolah karena institusi pendidikan lebih mengedepankan nilai materi daripada kualitas, liberalisasi ekonomi yang mewajibkan perusahaan nasional mengalihkan pada sistem pasar, dan liberalisasi politik (pilkada secara langsung). Khusus untuk pemilihan kepala daerah langsung, terjadi ambiguitas paradigma, satu pihak menjadi solusi bagi perkembangan dan penguatan demokrasi, satu sisi menciptakan komersialisasi pada tampuk pimpinan. kesemuanya itu menjadi alternatif solusi bagi setiap Negara berkembang yang menerapkan kebijakan Washington consencus (kesepakatan Washington).

New imperialisme muncul sebagai dampak neoliberalisme yang merupakan modifikasi dari faham liberal klasik. Para kaum neoliberalisme menilai faham liberal klasik sangatlah ortodoks, pun juga tak memberikan kebebasan individu seluas-luasnya dalam memenuhi kebutuhan. Karena peran Negara yang besar maka para kaum revisionis tersebut memodifikasi faham liberal klasik menjadi neoliberalisme yang lebih menekankan pada mekanisme pasar dalam bidang perekonomian.

Negara-negara berkembang –termasuk Indonesia– semestinya dapat melihat fenomena globalisasi ini secara tepat. Ketika sebuah Negara tidak berani memproteksi arus globalisasi ini, maka pengikisan nilai-nilai kebudayaan lokal dapat terancam keberadaanya, bahkan pengeksploitasian Sumber Daya Alam yang tak terkendali dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang berdampak pada perubahan iklim seperti sekarang ini.

Kasus yang hangat dibicarakan oleh media masa maupun elektronik saat ini ialah kenaikan harga minyak dunia yang semakin tak terkendali yang telah menembus harga 129 dollar AS per barrel. Terus melajunya harga minyak mentah otomatis berdampak terhadap perekonomian setiap negara. Seperti kenaikan sejumlah harga bahan pokok di setiap Negara, termasuk Indonesia. kebutuhan bahan pokok dalam negeri, seperti kacang kedelai, beras, minyak goreng yang harga pasaranya terus merangkak naik hingga 100%, harga bahan bakar minyak (BBM) yang sebelumnya Rp 4.500 per liter naik menjadi Rp 6.000 per liter (Kompas 26/05/2008), serta minimnya lapangan pekerjaan yang dapat diakses oleh masyarakat. Yang berdampak juga pada meningkatnya jumlah pengangguran yang pada tahun 2007 tercatat 12.6 juta jiwa. Semua permasalahan tersebut sangatlah menyengsarakan rakyat. Keseluruhan permasalahan tersebut dampak dari minimnya peran pemerintah dalam mengatur perekonomian makro maupun mikro.

Lalu mau dibawa kemana bangsa ini jika setiap tahunnya jumlah pengangguran serta kemiskinan terus meningkat? Tentunya setiap solusi yang ditawarkan haruslah disertai dengan komitmen yang kuat dari seluruh pihak yang berkepentingan. Menurut hemat penulis, solusi terbaik dalam permasalah ini ialah : (1) Berdiri di kaki sendiri (berdikari) dalam bidang ekonomi seperti yang diamanatkan oleh Bung Karno sudah sepatutnya menjadi solusi untuk mengeluarkan bangsa ini dari keterpurukan. Dengan memanfaatkan segala potensi Sumber Daya Alam maupun Sumber Daya Manusia yang ada, kemakmuran serta kesejahteraan rakyat niscaya akan terwujud.(2) Pemberantasan Korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN) yang berkesinambungan. Tak kenal kompromi wajib dilakukan aparat yang berwenang (KPK, Kepolisian, Inspektorat Jendral), karena selama ini anggaran-anggaran yang harusnya dialokasikan kepada rakyat, digunakan oleh pihak tertentu untuk kepentingan pribadi.(3) Model kepemimpinan yang pro rakyat. Pemimpin yang memiliki integritas tinggi, bertanggung jawab, serta memiliki komitmen yang kuat untuk mensejahterakan rakyatnya.

Maka, tidak ada kata terlambat untuk meneriakan perubahan. Haruskah kita tetap berkompromi dengan sistem global seperti sekarang ini..

Tidak ada komentar: