Sabtu, 13 September 2008

DAMPAK MODERNISASI TERHADAP PENDIDIKAN INDONESIA


Bagi bangsa yang ingin maju pendidikan adalah sebuah kebutuhan. Sama dengan kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Artinya dalam melaksanakan pembangunan, prioritas pembangunan tesebut adalah pendidikan. Karena pendidikan berkaitan dengan penguasaan warga negara dalam bidang pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

Bicara tentang dunia pendidikan di Indonesia mungkin tidak akan pernah ada akhirnya. Kesejahteraan guru dan dosen, isu Badan Hukum Pendidikan (BHP), sampai pada mahalnya biaya pendidikan. Selalu menghiasi wajah pendidikan kita.

Kebijakan pemerintah yang kembali menyesuaikan anggaran negara dengan memangkas 10% anggaran di tiap departemen, termasuk Departemen Pendidikan Nasional, membuat masyarakat kian pesimis. Pemotongan tersebut telah dipastikan seiring dengan ditetapkanya APBN-P 2008, April lalu (Kompas, 21/4/2008). Harapan masyarakat muncul ketika anggaran 20% untuk pendidikan dicantumkan dalam pasal 31 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945. Walaupun dalam implementasinya anggaran pendidikan sebesar 20%pun hanya menjadi isapan jempol belaka, kenaikan bertahap periode 2004-2009 secara bertahap mulai 6,6% (2004), 9,2%(2005), 12.01 %(2006), 14,68%(2007), 17,40%(2008) dan pada tahun 2009 sebesar 20,10 % lebih memuat nuansa politis menjelang pemilu 2009 (Pikiran Rakyat). Adalah hal yang tidak aneh lagi jika melihat anak kecil yang seharusnya duduk di bangku Sekolah Dasar berada dijalanan untuk mencari sesuap nasi. Ironis memang, tapi itulah realitasnya.

Minimnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan, memunculkan masalah baru. Yaitu meningkatnya jumlah pengangguran. Sistem yang berkembang tidak memberikan kesempatan pada mereka untuk memperoleh akses lapangan kerja. Fenomena pengangguran di negeri ini semakin beragam. Tak hanya dari golongan kurang terdidik. Pengenyam pendidikan tinggi pun tak luput dari ancaman itu. Kini lebih dari 1,5 juta sarjana dan ahli madya telah menganggur. Tahun 2009 ada 116,5 juta orang di negeri ini serbu pasar kerja. Ketika itu diperkirakan jumlah penduduk 228,9 juta orang, sebanyak 168,9 juta jiwa atau 73,3 persen diantaranya merupakan penduduk usia kerja. Dari jumlah ini, 116,5 juta orang atau 69 persen dari penduduk usia kerja dipastikan menyerbu pasar kerja sehingga sangat “menakutkan” karena pertumbuhan ekonomi belum jelas besarnya. (Kompas). Pertanyaanya adalah, apakah penyebab utama dari permasalahan tersebut?

Ketika produk Amerika Serikat yaitu Modernitas diagung-agungkan oleh setiap negara berkembang bagi terwujudnya masyarakat yang modern. Alasanya, teori modernisasi membantu memberikan secara implisit pembenaran hubungan kekuatan yang bertolak belakang antara hubungan tradisional dan modern, serta Teori Modernisasi mampu memberikan legitimasi tentang bantuan asing, khususnya dari Amerika Serikat. Maka, konsekuensi logis bagi negara berkembang ialah melakukan pembangunan ekonomi, mengganti nilai-nilai tradisional, dan melembagakan demokrasi politik. Terkait kepentingan Amerika Serikat dalam mendominasi kepentingan global. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Amerika Serikat dalam menancapkan pengaruhnya terhadap negara berkembang.

Dalam dinamikanya, modernisasi bertransformasi menjadi globalisasi (neoliberalisme). Yang lebih menekankan mekanisme pasar dalam kegiatan perekonomian negara. Strategi pemberian pinjaman hutang kepada negara berkembang, ternyata menyeret setiap negara berkembang dalam permasalahan serius, yaitu “pemotongan” APBN yang sejatinya digunakan untuk pembangunan, malah dikorbankan untuk menutupi hutang tersebut, (kompas,13/12/2007). Dalam hal ini rakyatlah yang menjadi korban.

Pastinya, kondisi tersebut berdampak pada dimensi kehidupan lainya, termasuk bidang pendidikan. Privatisasi pendidikan tidak dapat terhindarkan sebagai alternatif solusi. Pendidikan diproyeksikan menjadi Kebebasan Individu. Sehingga pendidikan menciptakan sebuah pertarungan yang mengharuskan ada sang pemenang dan sang pecundang. (Kompas, 13/2/2007)

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.

Dampak penting lainya ialah kesejahteraan dosen dan guru. Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot atau pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas. Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).

Globalisasi adalah masalah besar, negara harus dibangun oleh pemerintah yang kuat. Yang dapat memajukan masyarakatnya agar dapat meraih kemajuan-kemajuan dalam bidang ekonomi, politik, budaya, dan sosial. Hal ini dapat termotivasi lewat pendidikan. Selaras dengan Edi Cahyono serikat mahasiswa Bandar Lampung, Masyarakat dapat dimotiviasi dengan konsekuensi sikap tegas menolak imperialisme dan tentu saja liberalisme yang disodorkan oleh kaum imperialis melalui keputusan-keputusan menjerat yang dilakukan oleh negara-negara imperialis dan lembaga-lembaga kreditor.

Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan terkait dengan permasalahan ini. menurut hemat penulis, dalam kaitanya pendidikan mahal, pemerintah perlu membuat perencanaan yang strategis. (1) Pemantapan program subsidi silang wajib diberlakukan, sebagai pemerataan kesempatan meraih pendidikan. (2) Pemberdayaan lembaga pendidikan, melalui pembangunan-pembangunan sarana fisik yang menghasilkan profit, yang dapat menambah pendapatan. (3) Dikembangkanya Lembaga Pendidikan yang berbasis penelitian dan pengembangan sebagai langkah meningkatkan kualitas pendidikan. (4) Mengintensifkan program-program beasiswa, agar kesempatan siswa dalam mendapatkan pendidikan semakin mudah.

Dari sistem kurikulum. (5) perencanaan kurikulum yang berbasis nilai keagamaan dan umum patut dipertimbangkan. Karena selama ini kurikulum pendidikan selalu mendikotomikan ke dua hal tesebut. Sesungguhnya diakui atau tidak, sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Hal ini dapat dibuktikan antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagaman, dan khusus. Sehingga terciptanya individu-individiu yang berorientasi atau lebih mementingkan hal yang bersifat keduniawian atau diri sendiri tidak kepada hubungan antar manusia itu sendiri.

Dari model kepemimpinan, (6) kondisi tersebut dibutuhkan pemimpin yang amanah, yang memiliki keberanian dalam bertindak dan bersikap. Yang berani mengatakan perlawanan terhadapa segala bentuk imperialisme negara maju, perlawanan tersebut di wujudkan melalui nasionalisasi aset-aset nasional seperti FREEPORT, Blok Cepu, INDOSAT. Tindakan ini sebagai langkah mewujudkan pendidikan gratis dan peningkatan kualitas fisik pendidikan. Semoga solusi tersebut dapat menjawab tantangan dunia pendidikan saat ini.





Masa Depan Kepemimpinan Ekonomi di Indonesia


Hampir 10 tahun bergulirnya Reformasi di Indonesia ternyata tak memberikan dampak positif bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia. Malahan yang terjadi penduduk miskin Indonesia semakin meningkat jumlahnya dari 35 juta menjadi 45,7 juta jiwa (BPS). Hal ini sangatlah kontradiktif dengan Sumber Daya Alam melimpah yang dimiliki oleh negara Indonesia, yang seharusnya bisa menopang kesejahteraan rakyat Indonesia.

Demokrasi Prosedural

Apabila kita cermati fenomena yang terjadi 10 tahun terakhir di Indonesia. Demokrasi prosedural begitu pesat berkembang di Indonesia, namun tak berbanding lurus dengan kesejahteraan. Seperti pelaksanaan Pemilihan Umum tahun 2004 yaitu pemilihan pertama anggota parlemen dan presiden secara langsung oleh rakyat. Pemilihan umum 2004 pun juga yang mengantarkan Indonesia sebagai Negara ke-3 terdemokratis di dunia setelah Amerika Serikat dan India (Kompas, 3/5/2005). Demokrasi prosedural ini sarat dengan berbagai kepentingan pihak tertentu, khusunya partai politik. Yang menginginkan eksistensi partainya dalam kekuasaan. Tak jarang fungsi dari partai politik itu sendiri sering diabaikan. Yang salah satunya sebagai wadah aspirasi masyarakat. Pun juga, kemapanan system demokrasi prosedural ini dijadikan ranah kepantingan bagi para pemilik modal dalam bidang ekonomi.

Kendati pemilihan presiden dilaksanakan secara langsung oleh rakyat, Pemilu tersebut tak berhasil memunculkan pemimpin kuat yang dapat mengatasi permasalahan Indonesia. Bermodal legitimasi kuat dari rakyat Indonesia, sudah seharusnya pemimpin berpihak kepada rakyat. bukan menyengsarakan rakyat dengan berbagai kebijakan. Seperti, menaikan harga bahan bakar minyak (BBM), Impor beras, serta kenaikan tarif dasar listrik, yang malah menciptakan kondisi perekonomian baik secara makro maupun mikro terguncang hebat. Inflasi yang tinggi menyebabkan Harga dasar kebutuhan pokok merangkak naik, kondisi ini sangatlah tidak menguntungkan posisi rakyat kelas bawah sebagai mayoritas. Sejatinya, dalam demokrasi, harus adanya keterkaitan antara kesejahteraan rakyat dengan Pemilihan Pimpinan.

Menurut penulis, permasalahan dasar yang dihadapi oleh bangsa ini terletak pada sosok pemimpinnya. Bermodal legitimasi penuh dari rakyat, sudah seharusnya pemimpin berpihak kepada rakyat bukan kepada golongan tertentu. Hal inilah yang terjadi pada duet kepemimpinan SBY-JK, posisinya sebagai ketua partai menjadikan keduanya harus lebih mendengarkan aspirasi partainya jika mau aman di parleman, bukan kepada rakyat sebagai pemilihnya.

Tentunya tantangan terbesar masyarakat Indonesia dalam menghadapi pesta demokrasi pemilu 2009, ialah tidak boleh salah dalam memilih pemimpinya sendiri. Pemilih harus secara rasional menentukan pemimpinnya yang berkualitas, bukan dengan “iming-iming” beras. Kedepannya dalam memecahkan permasalahan ekonomi secara mikro seorang pemimpin haruslah memiliki karakter yang kuat, visioner serta keberpihakanya pada pelaku usaha kecil. Melalui pemberdayaan koperasi-koperasi dan memberikan bantuan kredit usaha pada pelaku ekonomi tingkat bawah dari tingkat desa hingga kabupaten/kota. Hal ini sebagai cara dalam menggerakan perekonomian kelas bawah.

Dalam kaitanya menggeliatkan pasar ekonomi masyarakat, pemimpin berikutnya wajib berani menciptakan regulasi-regulasi yang pro rakyat. Dengan mempertegas batas-batas keberadaan perusahaan besar, demi tertopangnya ekonomi tradisional. Sebagai contoh pembangunan Carrefur, alfa mart, Makro yang berorientasi profit wajib mengikuti standar pendirian bangunan di wilayah tertentu, sebagai tindakan preventif agar perekonomian wilayah tersebut tidak terjadi ketimpangan antara perusahaan tradisonal dengan perusahaan besar. Dalam strategi perekonomian makro, pemimpin berikut harus berani mengambil alih (Nasionalisasi) aset-aset yang dikuasai oleh asing, sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dalam pemerataan pembangunan. Serta, pemberantasan KKN yang tidak pandang bulu, agar pengalokasian dana-dana yang seharusnya dialokasikan untuk rakyat dapat tersalurkan dengan tepat.

Tentunya hadirnya pemimpin yang berkualitas ditentunkan oleh rakyat yang berkualitas pula, pendidikan masyarakat sangat penting dalam hal ini. Jika negara ini tak ingin terperosok lebih dalam ke lubang kehancuran, maka kriteria pemimpin tersebut haruslah dimiliki dan dipilih oleh rakyat Indonesia.






(Haruskah) Bertahan di Pusaran Global?


Memang harus diakui bahwa situasi ekonomi dunia saat ini kian menunjukan keberpihakannya pada setiap penguasa, bukan sebagai pemberi kehidupan

bagi para penghuninya.”


Globalisasi sudah menjadi penyakit tahunan bagi keberlangsungan Negara yang ingin berdaulat secara ekonomi. Globalisasi menuntut suatu Negara menyeragamkan pola fikir dan tindakan yang selaras dengan keinginan para pemilik modal. Dampak yang terjadi ialah pengurangan subsidi BBM oleh Negara, privatisasi perusahaan Negara seperti INDOSAT, bahkan penguasaan FREEPORT, Blok Cepu oleh pihak asing tak bisa dihindarkan. Meminjam kata Karl Marx bahwa negara hanya sebagai alat untuk segelintir minoritas orang yang menguasai alat-alat produksi.

Kondisi saat ini menggambarkan sebuah penjajahan baru (new imperialisme) yang bersifat non fisik. Seperti liberalisasi pendidikan, yang akan menambah daftar panjang generasi putus sekolah karena institusi pendidikan lebih mengedepankan nilai materi daripada kualitas, liberalisasi ekonomi yang mewajibkan perusahaan nasional mengalihkan pada sistem pasar, dan liberalisasi politik (pilkada secara langsung). Khusus untuk pemilihan kepala daerah langsung, terjadi ambiguitas paradigma, satu pihak menjadi solusi bagi perkembangan dan penguatan demokrasi, satu sisi menciptakan komersialisasi pada tampuk pimpinan. kesemuanya itu menjadi alternatif solusi bagi setiap Negara berkembang yang menerapkan kebijakan Washington consencus (kesepakatan Washington).

New imperialisme muncul sebagai dampak neoliberalisme yang merupakan modifikasi dari faham liberal klasik. Para kaum neoliberalisme menilai faham liberal klasik sangatlah ortodoks, pun juga tak memberikan kebebasan individu seluas-luasnya dalam memenuhi kebutuhan. Karena peran Negara yang besar maka para kaum revisionis tersebut memodifikasi faham liberal klasik menjadi neoliberalisme yang lebih menekankan pada mekanisme pasar dalam bidang perekonomian.

Negara-negara berkembang –termasuk Indonesia– semestinya dapat melihat fenomena globalisasi ini secara tepat. Ketika sebuah Negara tidak berani memproteksi arus globalisasi ini, maka pengikisan nilai-nilai kebudayaan lokal dapat terancam keberadaanya, bahkan pengeksploitasian Sumber Daya Alam yang tak terkendali dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang berdampak pada perubahan iklim seperti sekarang ini.

Kasus yang hangat dibicarakan oleh media masa maupun elektronik saat ini ialah kenaikan harga minyak dunia yang semakin tak terkendali yang telah menembus harga 129 dollar AS per barrel. Terus melajunya harga minyak mentah otomatis berdampak terhadap perekonomian setiap negara. Seperti kenaikan sejumlah harga bahan pokok di setiap Negara, termasuk Indonesia. kebutuhan bahan pokok dalam negeri, seperti kacang kedelai, beras, minyak goreng yang harga pasaranya terus merangkak naik hingga 100%, harga bahan bakar minyak (BBM) yang sebelumnya Rp 4.500 per liter naik menjadi Rp 6.000 per liter (Kompas 26/05/2008), serta minimnya lapangan pekerjaan yang dapat diakses oleh masyarakat. Yang berdampak juga pada meningkatnya jumlah pengangguran yang pada tahun 2007 tercatat 12.6 juta jiwa. Semua permasalahan tersebut sangatlah menyengsarakan rakyat. Keseluruhan permasalahan tersebut dampak dari minimnya peran pemerintah dalam mengatur perekonomian makro maupun mikro.

Lalu mau dibawa kemana bangsa ini jika setiap tahunnya jumlah pengangguran serta kemiskinan terus meningkat? Tentunya setiap solusi yang ditawarkan haruslah disertai dengan komitmen yang kuat dari seluruh pihak yang berkepentingan. Menurut hemat penulis, solusi terbaik dalam permasalah ini ialah : (1) Berdiri di kaki sendiri (berdikari) dalam bidang ekonomi seperti yang diamanatkan oleh Bung Karno sudah sepatutnya menjadi solusi untuk mengeluarkan bangsa ini dari keterpurukan. Dengan memanfaatkan segala potensi Sumber Daya Alam maupun Sumber Daya Manusia yang ada, kemakmuran serta kesejahteraan rakyat niscaya akan terwujud.(2) Pemberantasan Korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN) yang berkesinambungan. Tak kenal kompromi wajib dilakukan aparat yang berwenang (KPK, Kepolisian, Inspektorat Jendral), karena selama ini anggaran-anggaran yang harusnya dialokasikan kepada rakyat, digunakan oleh pihak tertentu untuk kepentingan pribadi.(3) Model kepemimpinan yang pro rakyat. Pemimpin yang memiliki integritas tinggi, bertanggung jawab, serta memiliki komitmen yang kuat untuk mensejahterakan rakyatnya.

Maka, tidak ada kata terlambat untuk meneriakan perubahan. Haruskah kita tetap berkompromi dengan sistem global seperti sekarang ini..

Bantuan Langsung Tunai yang Rawan Konflik


Rawannya kenaikan harga minyak dunia yang tak pasti membuat pemerintah harus pintar menyesuaikan APBN-nya. Defisit sebesar Rp 35 miliar APBN menjadi alasan pemerintah dalam manaikan harga bahan bakar minyak (BBM), karena jika tidak dinaikan maka defisit akan terus membengkak sejalan dengan merangkaknya harga Minyak dunia. Konsekuensi dari kebijakan menaikan harga BBM ini pastinya akan memberatkan masyarakat miskin sebagai mayoritas penduduk bangsa ini..

Berdasarkan kondisi tersebut Kebijakan pemerintah SBY-JK terhadap masyarakat miskin melalui program Bantuan Langsung Tunai (BLT) plus sebesar Rp 100.000 per kepala keluarga miskin sebagai bentuk tanggung jawab sosial pemerintah terhadap rakyatnya, akan tetapi patut disadari kebijakan tersebut berkorelasi kepada dua aspek, aspek pertama menjadikan masyarakat tidak mandiri/ membuat masyarakat tidak produktif karena selalu meminta, dan dirasakan kurang mendidik masyarakat. Aspek kedua harus disadari juga, kebijakan tersebut menjadi celah yang dapat dimanfaatkan bagi siapapun musuh politiknya, yang dapat berdamapak pada instabilitas politik pada akhirnya rakyat juga yang menjadi korban.

Sebenarnya Esensi dari makna “bantuan” syarat dengan perubahan suatu kondisi dari yang awalnya buruk menjadi lebih baik, dari yang terpuruk menjadi bangkit, dari yang salah menjadi benar. apabila kita memaknai kata “bantuan” sebagai alat untuk mensejahterakan maka hal tersebut telah keluar dari makna sejatinya, karena kesejahteraan dapat terwujud berdasarkan kemandirian, komitmen, serta usaha manusia itu sendiri.

Hemat saya Kebijakan BLT-ini dirasakan hanya mampu menjawab krisis yang sifatnya jangka pendek bukan menjawab krisis pada dasarnya. Berkaca pada tahun 2005, program BLT hanya menciptakan rasa ketidakadilan pada rakyat miskin. Terdapat kecemburuan sosial yang berdampak pada konflik horizontal masyarakat miskin dengan masyarakat miskin. Kondisi tersebut berkorelasi dengan meningkatnya jumlah konflik dalam masyarakat, apalagi faktor ketakutan pejabat di daerah dalam menyalurkan bantuan terebut membuat masyarakat miskin tidak dapat mengakses haknya

Solusi terbaik hemat saya Pemerintah wajib membuat solusi jangka panjang yang diproyeksikan menciptakan masyarakat yang mandiri. Masyarakat yang mampu, dengan tidak selalu berpangku tangan kepada pemerintah. Pertama, pemerintah dapat mengalokasikan dana BLT tersebut kedalam pembentukan unit-unit usaha baru yang nantinya dapat menggerakan perekonomian masyarakat. Unit-unit tersebut dapat menyerap masyarakat sehingga masyarakat dapat memiliki sumber-sumber pendapatan untuk memenuhi segala kebutuhanya. Kedua, pemerintah wajib wajib merombak seluruh regulasi yang merugikan rakyat seperti Undang-undang penanaman modal dan kepemilikan perusahaan besar. Dengan demikian masyarakat mampu berinovasi dalam mengembangkan segala kegiatan usahanya tanpa memikirkan kalah bersaing dengan perusahaan asing. Rencana seperti itulah seyogyanya yang mendominasi dalam aspek filosophis setiap kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah.

Jumat, 12 September 2008

Quo Vadis Pendidiakan Indonesia?


Membicarakan persoalan pendidikan di Indonesia mungkin tidak akan pernah ada akhirnya. Permasalahan dunia pendidikan di Indonesia datang silih berganti. Antara lain, permasalahan pro kontra pelaksanaan Ujian Nasional, Standarisasi Nilai Kelulusan dari tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Umum, Pemotongan dana Bantuan Operasional Siswa atau yang dikenal Danan BOS, Sampai pada isu Badan Hukum Perguruan Tinggi. Semua permasalahan tersebut mencerminkan ketidakmampuan aparatur pemerintah dalam menciptakan Blue-print (cetak-biru) khusunya dalam bidang pendidikan. Pertanyaanya adalah, apakah penyebab utama semua permasalahan tersebut?.

Apabila kita kembali pada substansi pendidikan itu sendiri, seyogyanya pendidikan memiliki peran dalam menumbuh-kembangkan sikap, perilaku serta pola pikir individu dalam kehidupan sehari-hari. Ketika permasalahan pendidikan ini terus diabaikan, maka yang akan terjadi ialah terciptanya suatu kondisi yang menurut Syahrir ialah kebodohan terselubung. Kebodohan yang terkonstruksi secara di sengaja oleh pihak penguasa guna mepertahankan kekuasaanya. Untuk itu, sepatutnya pemerintah sebagai pihak berwenang bertanggung jawab bagi terciptanya pendidikan yang berkeadilan bagi semua orang.

Implikasi modernisasi

Sejak isu Modernitas digulirkan pada akhir tahun 1948 oleh Amerika Serikat, yang pada saat itu sebagai tindakan antisipasi meluasnya faham Komunis Uni Soviet. Telah membawa terjadinya perubahan paradigma setiap negara pada saat itu khususnya negara yang baru merdeka. Bahwa, Perubahan menuju bentuk masyarakat modern, merupakan suatu yang tidak dapat dihindari. Karena perubahan sosial bergerak searah garis lurus, masyarakat berkembang dar masyarakat perimitif menuju masyarakat maju (teori Evolusi). Pemikiran mengenai modernisasi ini terus disebarluaskan ke seluruh negara, dengan tujuan agar setiap negara mau mengikuti keinginan Amerika Serikat.

Implikasi kebijakan pembangunan yang harus diikuti antara lain (1)Teori modernisasi membantu memberikan secara implisit pembenaran hubungan kekuatan yang bertolak belakang antara hubungan tradisional dan modern. (2)Teori modernisasi menilai ideologi komunis sebagai ancaman bagi pembangunan negara dunia ketiga. Teori modernisasi menyarankan agar dunia ketiga melakukan pembangunan ekonomi, mengganti nilai-nilai tradisional, dan melembagakan demokrasi politik (3)Teori Modernisasi mampu memberikan legitimasi tentang bantuan asing, khususnya dari Amerika Serikat.

Di dalam proses perkembangan menuju negara modern, Proses dialektika setiap negara diwujudkan dalam suatu tindakan dalam bisang ekonomi, sosial, budaya dan politik. Ke empat bidang tersebut dalam kebijakanya tidak terlepas dari intervensi Amerika Serikat dan eropa barat sebagai negara pendonor. Kepentingan negara-negara maju dalam menciptakan kekuatan global, mengharuskan terjadinya pola sinergitas yang tidak berimbang antara negara donor dan negara yang diberikan donor. Sehingga, dampaknya negara maju mendikte negara lemah dalam hal kebijakan yang menyangkut hajat orang banyak

Realitasnya

Situais tersebut, saat ini tengah dialami oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia. kebijakan-kebijakan untuk rakyat, yang dibiayai oleh APBN “terpotong” dikarenakan setengah alokasi dana APBN digunakan untuk membayar hutang Luar negeri yang jumlahnya hampir $200 milyar. Ironis memang.

Kondisi ini berdampak di berbagai dimensi kehidupan rakyat, khusunya dunia pendidikan. antara lain:

(1)Pada zaman Globalisasi, Kini neoliberalisme tak bisa dipisahkan dari apa yang disebut Gosovic dengan global intellectual hegemony. Pendidikan menjadi sebuah muara dalam merubah tindakan dan pola pikir individu di suatu negara. Kebebasan Individu diproyeksikan mengalahkan kebebasan kolektif. Sehingga Pendidikan “ala” noliberalisme menciptakan sebuah pertarungan yang mengharuskan ada sang pemenang dan sang pecundang. sebagaimana kita ketahui, kadang kita sering lupa bahwa neoliberalisme di desain hanya untuk yang kuat. Bukan untuk yang lemah. Berarti sudah jelas jawabnya, paradigma arah pendidikan saat ini lebih diorientasikan kepada individu yang mapan secara materi akan menjadi pemenang. Tidak kepada orang yang miskin yang akan menjadi pecundang.

(2) Jumlah penduduk yang sangat besar, menjadi modal bagi pembangunan secara nasional. Asalkan Sumber Daya Manusia yang berada didalamnya memiliki kualitas yang baik. Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia, dibutuhkan perencanaan dan pemikiran yang matang. Yang dikaitkan sesuai dengan situasi dan kondisi. Kebijakan pemerintah dalam menggelar Ujian Nasional kepada seluruh Institusi pendidikan dinilai tidak mewakilkan keadilan bagi seluruhnya. Perbedaan wilayah antara barat dengan timur dalam hal pembangunan, menunjukan ketimpangan dalam segi ekonomi dan infrastruktur. yang terjadi penyetaraan standar nilai dengan mngesampingkan perbedaan kualitas sekolah. Sehingga berdampak pada tingginy siswa yang tidak lulusi. Bahkan yang berkembang demi prestise, sekolah “kongkalikong” meluluskan muridnya. Apakah ini yang diharapkan?

(3) permasalahan Badan hukum Perguruan Tinggi (BHP)saat ini sedang menjadi buah bibir. Wacana liberalisasi pendidikan seolah-oleh ditutupi oleh pemerintah dengan dalih kemandirian kampus. Yang sebenarnya menyerahkan pendidikan kita kepada pihak asing. Dampak yang bakal terjadi apabila hal itu terlaksana ialah pengikisan nilai-nilai budaya local, karena yang akan lebih berkembang budaya modern. Karena lebih berorientasi kepada pasar, maka sistem ini membuka kesempatan seluas-luasnya kepada pemilik modal atau orang kaya. Sehingga yang terjadi, lebih pada nilai materi (uang) bukan kepada kualitas. Apabila semua permasalahan ini dibiarkan, maka tidak dapat dihindari bahwa kita akan menjadi buruh di negeri sendiri seperti apa yang dikatakan sastrawan Pramoedya.

keberanian

Dapat dibayangkan apabila dunia pendidikan terus digerus oleh ombak neoliberalisme. Para generasi berikutnya sudah diambang “liang Lahat kahancuran” karena pendidikan tidak dapat memberikan rasa keadilan bagi orang miskin . ada beberapa solusi yang dapat dilakukan terkait denganp ermasalahan ini. akan tetapi menurut hemat penulis, dibutuhkan dua modal dalam menuntaskan keadilan pendidikan. (1) dalam kaitanya sitem pendidikan, diperlukanya perencanaan penetapan kurikulum yang berbasis nilai agama dan umum. Karena selama ini dirasakan kurikulum pendidikan kita, selalu mndikotomikan ke dua hal tesebut. Apabila ke dua hal tersebut dapat termodifikasikan dengan baik, out put yang diharapkan akan mampu mengimplementasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari atau umum. (2) kekacauan ini terjadi akibat kepemimpinan yang lemah, yang tidak memiliki keberanian dalam bertindak dan bersikap. Sehingga yang terjadi negara Indonesia hanya bisa “mengangguk” terhadapa negara maju. Untuk itu, kepemimpinan menjadi sangat penting karena kebijakan berada pada keputusanya. Kita semua berharap akan ada pemimpin yang berani dengan moral yang baik dapat memimpin dunia pendidikan di Indonesia.



























Minggu, 07 September 2008

SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA 1429H